2017-12-12

Ajaran Makrifat Jawa: Hidup Sejati Menurut Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar memberikan pandangan tentang hidup sejati. Hidup sejati baginya hanya bisa diraih apabila telah melepas nyawanya dan menyatu dengan Dzat Tuhan secara sempurna. Maka hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena membawa sifat-sifat ketidaklanggengan.

Pada mulanya, pendapat ini ditentang oleh Wali Songo. Bahkan pendapat inilah yang mengantarkan pada jatuhnya eksekusi mati bagi Siti Jenar. Namun belakangan, para wali tahu bahwa ajaran ini tidaklah salah. Hanya saja, tidak boleh mengajarkan ilmu ini kepada semua orang.

Inilah perbedaan antara Syekh Siti Jenar dan Wali Songo. Siti Jenar mengajarkannya terang-terangan dan tanpa basa-basi. Ia menjelaskan makna hidup secara terbuka, siapa saja boleh mengetahui langsung, tidak perlu berputar-putar dahulu. Lain halnya dengan para wali yang memulainya dengan pemahaman yang paling bawah, kemudian perlahan naik hingga akhirnya sampai pada intinya.

Oleh Ronggowasito, ajaran ma’rifat yang pada awalnya dirahasiakan oleh para wali ini dibuka secara umum dalam bentuk tulisan. Semua boleh mengamalkannya, namun tetap perlu memperhatikan tata caranya.

Hidup Sejati

Menurut Syekh Siti Jenar, hidup itu tempatnya ada dalam uni nong ana nung. Inilah kehidupan sejati. Seseorang yang tidak bisa memposisikan diri dalam uni nong ana nung. Ini berarti ia belum tahu akan hidup. Sama saja seperti bangkai yang berjalan.

Uni nong ana nung ini adalah Dzat Tuhan, yakni Aku. Dalam ajaran Martabat Tujuh, keadaan ini sama saja dengan Martabat Ahadiyat, yakni tingkatan pertama penampakan Tuhan. Tuhan dalam keadaan ini digambarkan sebagai Dzat semata, 

Dia tidak memiliki nama untuk menyebut Diri-Nya. Maka Siti Jenar berani mengatakan bahwa nama Allah ada karena dzikir yang dilakukan manusia.

Ki Ageng Pengging, yang telah selesai belajar, memberanikan diri untuk meniadakan wujud Allah. Bahkan menyebut nama Allah saja ia menganggap sebagai suatu kebohongan. 

Seseorang yang hendak mencapai kehidupan sejati, maka dia harus mengetahui hakikat dirinya. Para ahli ma’rifat memberikan ungkapan, man ‘arofa nafsahu faqod arofa robbahu.

Ungkapan di atas mengandung pesan bahwa tidak mungkin seseorang akan dapat mengenal Tuhan jika ia tidak mengenal hakikat dirinya. Untuk dapat mengenal hakikat diri, seseorang bisa memulainya dari bawah ke atas. Istilahnya taraqi (mendaki), yakni dari tingkatan paling bawah dalam Martabat Tujuh, lalu terus naik hingga sampai pada tingkatan tertinggi.

Mula-mula, ia mengenal dirinya sebagai manusia secara jasmani. Kemudian naik, mengenal dirinya sebagai bangunan sebuah jiwa dengan segala pernik-pernik di dalamnya. Selanjutnya naik lagi, mengenal dirinya sebagai ruh. Lalu ia mengenal dirinya sebagai satu kesatuan alam semesta yakni Nur Muhammad. Hingga akhirnya ia mengenal diri sesungguhnya, ia lebur jasmani dan ruhaninya, ia lenyap dalam Dzat Tuhan yang nyata. 

Maka hilanglah semua yang ia rasakan, oleh karena tampaknya Dzat Tuhan yang Satu. Itulah hakikat kehidupan, hidup sejati yang dicapai melalui pelenyapan diri dan penyatuan dalam Dzat Tuhan yang Maha Mulia, manunggaling kawula gusti. (Selanjutnya - Jalan Mencapai Hidup Sejati secara Taraqi (Mendaki))

KOMENTAR