Kitab Al-Hikam, sebuah kitab tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama besar dan guru sufi bernama Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari.
Kitab al-Hikam berisi aforisme-aforisme Ibnu Atha’illah yang mengajarkan banyak nasihat kepada pembacanya agar setiap waktu selalu dekat dengan Sang Pencipta, Allah Swt.
Ibnu Atha’illah lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 709 H/1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.
Al-Hikam bukanlah satu-satunya karya Ibnu Atha’illah, sebab sang syekh termasuk sangat produktif menulis, yang meliputi bidang tafsir, fiqih, tasawuf, hadis, ushul fiqih. Namun, di antara karya-karyanya itu, al-Hikam adalah karya yang paling terkenal, dan bahkan dianggap sebagai magnum opus Ibnu Atha’illah.
Ibnu Atha’illah adalah tokoh penting dalam Thariqah Syadziliyah, beliau dikenal sebagai guru atau syekh ketiga dalam lingkungan tarekat Syadzili setelah pendirinya Abu al-Hasan asy-Syadzili dan penerusnya, Abu al-Abbas al-Mursi. Ibnu Atha'illah-lah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa, dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara hingga masa sekarang. Berikut intisari Hikmah Sufi Kitab Al Hikam Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari:
(1)
"Sebagian dari tanda-tanda orang yang senantiasa membanggakan amal perbuatannya, berarti kurang mempunyai pengharapan terhadap rahmat Allah, tatkala terjadi kekhilafan pada dirinya".
(2)
"Keinginanmu untuk bertajrid (selalu beribadah tanpa melihat ke pentingan dunia) padahal Allah menjadikan engkau pada golongan yang berusaha (kasab), maka keinginan yang demikian itu termasuk keinginan hawa nafsu yang samar (halus). Sebaliknya keinginan dalam berusaha yaitu (untuk memenuhi kebutuhan duniawi) padahal Allah ' menjadikan engkau ke dalam'golongan tajrid, maka keinginanmu yang demikian itu berarti merupakan kemunduran dari semangat cita-cita yang luhur".
(3)
"Kesemangatan itu tidak dapat menembus kepastian yang telah ditetapkan oleh Allah
(4)
"Tenangkanlah jiwamu dari urusan kepentingan dunia, sebab apa yang telah dijanjikan oleh Allah maka janganlah kamu turut memikirkannya".
(5)
"Kesungguhanmu untuk mencapai apa yang telah ditanggung oleh Allah, dan kelalaianmu dalam apa yang telah diperintahkan kepadamu itu adalah menandakan atas kebutaan hatimu (penglihatanmu)."
(6)
"Terlambatnya masa pemberian Allah di mana engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdo'a, itu janganlah menyebabkan engkau berputus asa (dalam berdo'a). Maka ketahuilah bahwa Allah itu telah menanggung kepadamu akan mengabulkan semua do'a terhadap apa yang Allah telah pilihkan untukmu, tidak pada apa yang engkau telah pilihkan untuk dirimu (sendiri), dan pada waktu yang Dia kehendaki bukan pada waktu yang engkau kehendaki".
(7)
"Janganlah sekali-kali kamu jadi ragu akan janji Allah yang telah dijanjikan oleh-Nya, sedang waktunya sudah nyata (akan datang), akan tetapi belum datang. Agar supaya keragu-raguan itu tidak mengotori penglihatan hatimu dan tidak memadamkan cahaya nuranimu".
(8)
"Apabila dirimu telah dibukakan jalan (menuju) ma'rifat kepada Allah, maka sungguh dengan kema’rifatan itu jangan engkau pedulikan amalanmu yang sedikit. Maka sesungguhnya Allah tidak membuka jalan kema'rifatan bagimu, kecuali hanya Dia menghendaki pengenalan kepadamu. Tidakkah engkau mengerti bahwasanya ma'rifat itu adalah anugerah Allah kepadamu, sedangkan amal perbuatanmu itu hanya merupakan sebagai imbalan jasa kepadanya, kalau begitu di manakah sekarang letak perbandingan antara imbalan jasamu kepadanya dengan apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu”.
(9)
“Beraneka ragam jenis amal yang nampak itu adalah karena beraneka ragam keadaan yang datangnya dari dalam hati seseorang. Beraneka ragam amal yang nampak itu merupakan kerangka yang tegak, sedang ruhnya adalah wujudnya rahasia ikhlas yang ada di dalamnya".
(10)
"Tanamlah wujudmu (dirimu) di dalam bumi kerendahan, maka sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam itu tentu hasilnya tidak akan sempurna".
(11)
"Tidak ada sesuatu yang dapat mendatangkan manfaat pada hati seseorang hanyalah uzlah (mengasingkan diri). Sebab dengan adanya uzlah itu (manusia) bisa berfikir secara luas."
(12)
"Bagaimana hati itu dapat memancarkan cahaya, padahal dalam hatinya terlukis semua gambar-gambar kepada selain Allah. Atau bagaimana orang dapat berangkat menghadap kepada Allah, padahal ia selalu terikat oleh syahwat (keinginan) atau bagaimana orang dapat mempunyai keinginan kuat agar dapat masuk ke hadirat Allah, padahal hatinya belum suci dari janabah kelalaiannya. Atau bagaimana bisa berharap agar mengerti terhadap rahasia-rahasia yang halus, padahal ia belum bertaubat untuk menebus kesalahan-kesalahannya".
(13)
“Segala sesuatu yang wujud di alam ini adalah gelap (tidak bersinar) sedang yang meneranginya adalah tampaknya haq (Allah). Maka barangsiapa yang melihat akan sesuatu yang wujud ini, akan tetapi dia tidak menyaksikan haqnya Allah di dalamnya, atau disisinya, sebelum, atau sesudahnya, pastilah cahaya itu menyilaukan dan menghalangi dari padanya cahaya ma'rifat, disebabkan adanya kabut yang menyelimuti dari segala yang wujud ini''.
(14)
"Di antara tanda-tanda yang menunjukkan kepadamu akan adanya kekuasaan Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah Dia dapat menghalangi kamu dari melihat kepada-Nya dengan apa yang tidak wujud bersama-Nya".
(15)
Barangsiapa yang diperkenankan Allah tentang i'tibar (memperhatikan sesuatu untuk diambil hikmahnya), maka ibaratnya dapat diterima oleh manusia, serta jelaslah (petunjuk) mereka".
(16)
"Tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu yang Allah telah menampakkannya di dalam waktu itu”.
(17)
"Penundaanmu akan semua amal (kebaikan) karena menunggu adanya waktu luang, itu termasuk sangat bodoh jiwanya".
(18)
"Janganlah kamu memohon kepada Allah agar dia mengeluarkan kamu dari suatu keadaan yang bersifat keduniawian supaya memberikan pekerjaan kepadamu selain keadaan diatas. Sebab seandainya Dia menghendaki kamu, pastilah Dia memberi pekerjaan kepadamu tanpa mengubah/mengeluarkan (dari keadaan semula)”.
(19)
"Tidak ingin (mempunyai) cita-cita orang yang menuju kepada Allah (salik) untuk berhenti ketika dibukakan (dijelaskan) baginya cita-cita (perkara yang ghoib) melainkan ketika ia ingin berhenti ada suara hakekat yang memanggilnya yang kamu cari masih ada dimukamu, maka jangan berhenti disitu. Begitu juga tidak tampak baginya beraneka ragam keindahan alam, melainkan apabila tampak kepadanya hakekat keindahan alam, akan memanggilmu, sesungguhnya kami adalah fitnah maka janganlah percaya kepadaku".
(20)
"Permohonanmu kepada Allah (dalam hal rizqi) mengandung pengertian bahwa Dia tidak memberi rizqi kepadanya, permohonanmu kepada Allah agar kamu dekat kepada-Nya itu mengandung pengertian bahwa Dia jauh dari padanya, permohonanmu selain Allah itu berarti sedikit rasa malumu kepada-Nya, dan permintaanmu dari selain Allah karena adanya kamu jauh dari pada-Nya". (Selanjutnya - Hikmah Sufi Al Hikam Syekh Ibnu Atha’illah (2)....... (21))