2017-08-27

Riwayat Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah)


Kitab Ad-Durrun Nafis - Kitab Ad-Durrun Nafis (Permata Yang Indah) adalah salah satu kitab terbaik yang pernah ditulis oleh ulama Banjar. Kitab berisi ajaran Ilmu Ketuhanan (tasawwuf) ini disusun oleh Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari.

Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari mengarang kitab ini di Mekkah dalam bahasa Melayu, tahun 1200 Hijriah (1785/1786 Masehi).

Naskah Durrun Nafis (Permata yang Indah) yang dalam bahasa Melayu kemudian diterjemahkan oleh ulama Banjar lainnya, KH Haderanie HN, ke dalam bahasa Indonesia, dan diberi catatan serta penjelasan sehingga lebih mudah dipahami.

Permata Yang Indah tampaknya beredar dan menjadi rujukan kajian di kalangan ulama-ulama Banjar yang pernah bermukim di Mekah. Tak heran jika, KH Haderanie HN dalam kata pengantar terjemahannya, mengungkapkan, seorang ulama terkenal Syekh Abdurahman Shiddiq di Sapat/Tambilahan, salah seorang ulama keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, telah menyusun sebuah risalah yang bernama Amal Ma’rifat yang hampir serupa isi, bahasa dan sebagian susunan kalimatnya.

Sebagai jaminan terhadap kepiawaian dan luasnya pengetahuan dari sang penyusun Durrun Nafis, ungkap KH Haderanie HN, dapat dilihat pada bagian terakhir dari tulisan Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari, yang berbunyi:

“Banjarmasin tempat lahirnya, Mekkah tempat tinggalnya, Syafi’ie mazhabnya, Asy’arie iktikadnya, Junaidi ikutannya, Qadriyah Thoriqatnya, Syathoriyah pakainnya, Naqsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah makanannya, Samaniyah minumannya.”

Durrun Nafis memuat konsep dan paham-paham rumit dalam Ilmu Ketuhanan seperti Tauhid Af’al (Keesaan Perbuatan), Tauhid Asma (Keesaan Nama Allah SWT), Tauhid Sifat (Keesaan Sifat-sifat), Tauhid Zat (Keesaan Zat) dan Martabat Tujuh.

Mengenal Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari

Siapa yang tak mengenal Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjari, Ulama yang wafat pada tahun 1781 dan dikenal dunia lewat kitab Tasawwuf Ad-Durun Nafis dan karangannya tersebut terus dicetak dan dipelajari disejumlah negara seperti Makkah (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Malaysia, Brunai, Singapura dan berbagai percetakan di Nusantara.

Nama besarnya juga bisa dibuktikan dengan hadirnya ribuan jamaah baik dari Kalimantan maupun dari luar pulau bahkan dari mancanegara yang memadati makamnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua dalam memperingati acara tahunan haulan Syekh Nafis.

Syekh Nafis lahir sekitar tahun 1148 H/ 1735 M di Martapura Kabupaten Banjar. Sebagaimana data silsilah garis keturunan yang bersambung dengan Sultan Suriansyah, maka Syekh Nafis terlahir sebagai keluarga bangsawan dari Kesultanan Banjar.

Meski tidak ada catatan pasti tahun beliau pergi menuntut ilmu ke Islaman ke Mekkah dan Madinah, namun dari daftar nama-nama guru yang pernah mengajari Syekh Nafis, diantaranya Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Sammani Al Madani, maka kemungkinan besar Syekh Nafis sewaktu menuntut Ilmu di Haramain, satu masa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary (Pengarang kitab Sabilal Muhtadin) dan para Ulama Jawi (Indonesia / Asia Tenggara) abad 17 dan ke 18, diantaranya Syekh Abdus Shamad Al Falimbani.

Dalam sejarah Islam di Hulu Sungai, pada abad ke 19 Masehi, oleh Kesultanan Banjar, lokasi daerah Kelua (Tabalong) ditetapkan sebagai tempat untuk penyebaran Islam, karena wilayah Kelua berbatasan langsung dengan daerah Kaltim dan Kalteng. Maka Syekh Nafis turut berhijrah dan menetap di Kelua sebagai tempat untuk menyebarkan Agama Islam, juga sebagai wujud ketidaksenangan beliau kepada penjajah Belanda yang kala itu mulai menguasai Keraton Kesultanan Banjar.

Karena kepiawaiannya dalam Ilmu Tasawwuf, atau ilmu yang paling ditakuti oleh Penjajah Belanda, dan sangat berpengaruh dalam hal semangat jihad di tengah masyarakat, maka Ulama sekaligus pujangga Islam kelahiran Tanah Banjar dalam hidupnya sempat mengarang dua buah Kitab, yakni Kanzus Sa’dah dan Ad Durrun Nafis.

Kitab Ad Durrun Nafis Sempat Dipropoganda Belanda

Kitab Ad Durrun Nafis yang dikarang sang Pujangga Islam, sekaligus Ulama Sufi kelahiran tanah Banjar yang bermakam di Bumi Sarabakawa atau tepatnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua, yakni Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjari memang masih jadi kontroversi dikalangan Ulama Ahlussunnah. Karena dianggap sebagai kitab yang padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam Ilmu Tauhid Ahlussunnah wal Jamaah yang teranyam dengan Ilmu Tasawwuf.

Dari data yang didapat, di Kalimantan Selatan khususnya Tabalong, terdapat tiga kelompok bersikap pro dan kontra dalam menerima, mempelajari dan menolak ajaran yang termuat di kitab yang sangat kental nuansa Tasawwuf tersebut.

Pertama, kelompok yang berpendapat setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya, karena kitab Ad Durrun Nafis mempunyai kedudukan sama dengan kitab Tasawwuf pada umumnya. Sesuai ajaran Islam, maka jangan dirahasiakan apalagi sampai melarang.

Lalu pendapat kedua, yakni kelompok yang menganggap Kitab Ad Durrun Nafis tidak sejalan dengan dengan ajaran mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah, dan tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, serta dianggap mengandung paham Jabariah, Wahdatul Wujud, Hulul dan Filsafat yang sesat. Selain itu banyak ditemukan Ta’arudh (kontradiksi) dan Khatha (kesalahan) yang tidak dapat dita’wilkan.

Dan kelompok ketiga berpendapat ajaran dikitab tersebut diperbolehkan, namun hanya untuk kalangan orang tertentu saja atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Yaitu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh pengarang (Syekh Nafis) dalam kitabnya “Bahwa hanya Ulama yang tinggi ilmu pengetahuan agamanya sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka isi kitab itu tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang atau tidak kuat landasan ilmu agama serta keimanan,”.

Nah, terlepas dari kontek tiga pendapat kelompok tersebut, ternyata dalam beberapa kutipan manakib atau biografi Syekh Nafis juga disebutkan bahwa Kitab Ad Durrun Nafis pada jaman penjajahan sempat dipropoganda pengharaman oleh pihak Belanda dengan menggaet beberapa Ulama yang tidak sepaham dengan ajaran kitab tersebut, sehingga diaturlah fatwa Ulama yang melarang membaca kitab tersebut.

Pendapat bijaksana juga turut dilontarkan salah seorang Ulama Kalsel yang termuat dalam kutipan kata sambutan Alm KH Idham Chalid pada buku Permata Yang Indah (Kitab Ad Durrun Nafis yang di Bahasa Indonesiakan) oleh KH Haderanie. KH Idham Chalid menganggap bahwa kitab yang dikarang oleh Syekh Nafis pada tahun 1200 H di Mekkah Almukarramah tersebut, yakni selain memang berharga sebagai tambahan pembendaharaan Ilmu dalam bahasa Indonesia. ”Juga berarti melestarikan karya Pujangga Islam Indonesia yang telah beratus tahun mendahului kita,” kata Alm KH Idham Chalid. (Selanjutnya - Fasal Mukadimmah)



KOMENTAR