2017-09-06

Tauhid Asma, Sifat, Af'al dan Dzat


Kitab Barencong - Sekarang baiklah kita teruskan kepada membicarakan tentang meng-esakan Allah Ta’ala pada segala perbuatan.

TAUHIDUL AF’AL (MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA PERBUATAN)

Dalam pelajaran atau pengajian-pengajian kita yang terdahul sudah kita jelaskan/kita sampaikan, titik tujuan pelajaran dan ilmu tasawuf adalah menuju jalan kembali kepada Allah dan supaya liqo/ bertemu Allah, maka jalan bagi salik/ penuntut haruslah dimulai dengan mempelajari dan mengamalkan tauhidul af’al, artinya: meng-esakan Allah Ta’ala pada segala perbuatan, yakni meninggalkan seluruh perbuatan yang ada pada makhluk ini kepada Allah. Maksudnya pandanglah olehmu dengan syuhud hati dan dengan mata kepala dengan itikad yang putus dan dengan haqqul yakin, bahwa segala perbuatan dan gerakan yang ada terlihat dalam alam ini, baik yang datang dari diri kita sendiri maupun yang datang dari semua makhluk yang ada dalam alam ini: baik perbuatan yang diridhoi oleh syara maupun yang dilarang oleh syara; adalah kesemuanya itu perbuatan Allah Ta’ala.

Memang itu perbuatan Allah; maka kalau kita lihat pada lahirnya segala perbuatan itu dilakukan oleh manusia/hamba dan segala hayawan dan lain-lain sebagainya. Tetapi namun kita teliti dengan cermat dan dengan penuh keyakinan dan dengan tinjauan akal, dengan seksama bahwasanya memang makhluk ini lemah, daif, hina tak punya daya upaya sama sekali. Dan tidak punya sifat ta’sir dan sebagainya. Sedangkan segala pebuatan itu tidak akan ada kalau sifat yang memperbuat itu tidak memiliki sifat-sifat tersebut. Sifat-sifat ta’sir itu ialah Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat sedang semua sifat-sifat itu ialah kepunyaan dan milik Allah. Jadi segala perbuatan yang ada terlihat pada alam ini dan diri kita, itulah perbuatan mazazi belaka, dan bukan hakiki. Itu adalah majhor dan kenyataan perbuatan Allah kepada kita.

Allah menyandarkan perbuatannya kepada kita, adalah tanda kasih sayangnya, supaya kita punya titik dan penempatan mengenal perbuatan Allah dan ZATnya. Disamping itu juga merupakan coba dan ujian kepada kita; apakah kita sanggup memandang perbuataan Allah, atau menjadi orang buta dan sirik, mengakui/kekuatan dan perbuatan dia sendiri lahir dan bathin/luar dan dalam.

Kenyataan dan kejahiran perbuatan Allah kepada hambanya; inilah oleh kaum sufi disebut usaha ikhtiar hamba. Dan disinilah takluknya hukum syara’.

SYEH WAHAB SYAHRANI berkata; beliau ada mendengar dari syaidina ALI AL HAWAS ia berkata: Wajib bagi hamba meng’itiqadkan bahwa segala perbuatan dan usaha ikhtiar hamba, sama sekali tidak memberi bekas dengan sekira-kira takwin dan atsar. Lebih jauh beliau berkata, Allah menghendaki mengadakan suatu harakat atau yang disebut gerak perbuatan, maka tidak akan ada ujudnya kecuali pada maddah atau tempat yang menerima hukum yang dimaksud; mustahil ada ujud gerak atau perbuatan tanpa ada maddah itu. Maka yang dijadikan maddah atau tempat menjahirkan perbuatan Allah itu, adalah hamba dan lain-lainnya. Itulah sebabnya dipandang ada segi lain, ada perbuatan hamba.

Sangat banyak sekali penjelasan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits nabi yang memberikan keterangan-keterangan bahwa hamba atau makhluk ini sama sekali tidak punya perbuatan. Antara lain menegaskan, WALLAHU KHOLAQOKUM WAMAA TA’MALUN artinya: Allah yang menjadikan kamu dan segala perbuatan kamu. (Surah as Shaa: 96).

Dan lagi ayat yang berbunyi: WAMAA ROMAITA IZROMAITA WALAKINNALAHA HAROMA Artinya: Hai Muhammad bukanlah engkau yang melempar dikala engkau melempar, tapi Allah lah yang melempar dikala engkau melempar. (Surah Anfaal: 17).

Jadi untuk kemantapan pandangan kita, kita harus selalu melatih diri dengan tidak bosan-bosannya mensyuhud perbuatan Allah Ta’ala Azzawazalla. Kita hendaklah dalam hidup ini tidak hanya melihat yang tersurat saja, tetapi juga yang tersirat. Dengan basyirah hati kita ini, biar saja mata melihat perbuatan alam, namun dalam hati melihat perbuatan Allah.

Biar saja telinga mendengar alam, namun hati kepada Allah. Biar saja mulut mengatakan perbuatan si A si B dan si C, namun hati tetap tercurah kepada Allah. Boleh saja buat misal sekedar untuk mendekatkan kepada Allah (kepada faham). Bahwa alam AKUAN yang kita lihat ini dengan bermacam-macam corak dan ragam, hendaknya tak ubahnya laksana kita melihat bayang-bayang yang mana hati kita akan tertuju kepada yang punya bayang-bayang itu. Tidak mungkin bergerak bayang-bayang, tanpa bergerak yang punya bayang-bayang. Jadi kesimpulannya adalah: tiada yang hidup, tiada yang tahu, tiada yang kuasa, tiada yang berkehendak dan tiada yang berkata-kata pada hakikatnya melainkan Allah Ta’ala.

Adapun zahir sifat ini kepada makhluk adalah tempat memandang sifat-sifat Tuhan yang zahir pada makhluk, yakni bayang-bayang sifat tuhan kepada hamba. Seperti ujud kita adalah bayang-bayang ujud Allah Ta’ala. Mustahil ujud bayang-bayang dengan tiada ujud yang mempunyai/empunya bayang-bayang. Dan mustahil pula bergerak bayang-bayang dangan tiada bergerak yang empunya bayang-bayang. Bermula misal ini karena untuk menghampirkan faham jua adanya.

Jadi untuk kemantapan pandangan ini bahwa makhluk ini tiada mempunyai perbuatan barang perbuatan, hanya saja perbuatan yang ada dalam alam ini perbuatan, hanya saja perbuatan Tuhan Allah semata-mata. Dan jika engkau sangka ada perbuatan lainnya daripadanya, walaupun sebesar zarroh, maka sirik lah engkau, artinya: menyekutukan Tuhan dengan lainnya, (syirik khafi).

Demikianlah orang yang hendak meng-esakan Allah Ta’ala pada Af’al atau perbuatan, tanamkanlah keyakinan kita itu kedalam lubuk jiwa yang sangat mendalam, sekira-kira/tidak bergeser walau sebesar zarrohpun, kalau sudah mantap pandangan akan Af’al Allah Ta’ala maka manunggallah perbuatanmu (manunggal dalam rahasia) dengan Af’al-Nya.

TAUHIDUL ASMA (ME-ESAKAN ALLAH TA’ALA PADA ASMA)

Maksud dan tujuan mengesakan Allah Ta’ala pada nama: yaitu yang sebenarnya ialah untuk mengenal Zat Allah, sehingga manakala kita memandang, mendengar, atau melihat nama apapun jua pada makhluk ini, maka tercurahlah pandangan basyirah kita dan perhatian kita kepada Allah s.w.t. Adapun pengertiaan mengesakan sama itu ialah menyatukan, meninggalkan, dan mengembalikan seluruh nama-nama atau nama-nama yang ada pada makhluk ini, kepada nama dan Zat Allah Ta’ala. Baik nama-nama yang menurut hikmah dan manfa’at daripada benda alam ini ataupun nama-nama menurut perbuatan makhluk ini, yang disebut dengan nama perbuatan atau asmaul af’al. Sekira-kira dalam pandangan basyirah hati kita tidak ada yang bernama kecuali Allah. Jadi nama-nama ini tidak terbatas kepada asmaul husna saja, tetapi lebih luas dan lebih mendalam sekali atau tak dapat dihinggakan. Bermula kalfiat mengesakan Allah Ta’ala pada asma itu, yaitu kita pandang dengan mata kepala dan dengan mata hati kita pada asma Tuhan semata. Atau harus dikembalikan kepada Allah Ta’ala dengan dalil-dalil dan alasan sebagai berikut:
  1. Karena af’al makhluk adalah majhor dan kenyataan perbuatan Allah. Maka begitu juga asma makhluk adalah majhor asma Allah yang tujuannya adalah untuk mengenal Allah.
  2. Tiap-tiap nama menuntut ujud musama, yakni tiap-tiap nama tidak pisah dengan zat yang empunya nama. Sedangkan kalau diperiksa dengan teliti dan dipandang dengan pandangan ma’rifat, maka tidak ada yang maujud pada hakikatnya kecuali Zat Allah Ta’ala.
  3. Allah berfirman: WALILLAHIL ASMA UL HUSNA FAD’UHU BINAA. Artinya: Bagi Allah ada nama yang baik-baik, maka beroleh kamu dengan DIA.
  4. Sabda Rasulullah S.A.W : INNAMA TAD’UUMA MAN HUWA SAMI’UN BASYIRUN, MUTAKALLIMUN, WA HUWA MA’AKUM AINAMA KUNTUM. Artinya: hanya saja kamu berdoa kepada Tuhan yang maha mendengar lagi maha melihat, dan yang berkata-kata dan DIA selalu beserta kamu dimana saja kamu berada.
Adapun cara kita memusahadahkan pandangan ini ialah dengan dua cara yaitu: SYUHUDUL KASRAH FIL WAHDAH dan SYUHUDUL WAHDAH FIL KASRAH. Artinya: Pandang yang banyak pada yang satu. Dan pandang yang satu pada yang banyak. Disni hamba simpulkan saja bahwa: Seluruh ASMA ini dari Allah dan kembali kepada Allah. Jadi pada hakikatnya nama-nama yang ada pada makhluk ini nyata adalah: nama-nama Tuhan Allah.

Maka dari itu wahai sekalian penuntut, mantapkanlah pandanganmu dalam segala perkara, supaya ia tetap bagimu. Kalau sudah mantap pandanganmu, maka engkau yang bernama khalifah Tuhan dalam dunia fana ini. Sekarang baiklah kita teruskan tentang mengesakan sifat Allah Ta’ala. Tetapi sebelum kita membicarakan tentang mengesakan sifat Allah Ta’ala: maka baiklah anda sekalian hamba bawa kepada membicarakan tentang ayat Al Qur’an yang berbunyi: FA’ILUN ILALLAH, Artinya SEMUA KERJA DARI ALLAH. Maka yakinlah kita sekarang ini tak ada yang perlu kita ragukan lagi. Karena syak dan ragu itu adalah musuh kemerdekaan akal. Demikianlah penjelasan hamba mengenai tauhidul asma. Sekarang baiklah kita teruskan kepada membicarakan tentang meng-esakan Allah Ta’ala pada sifat, artinya: seluruh sifat-sifat yang ada dalam alam ini, si empunya kepada sifat Hayat.

TAUHIDUS SIFAT (MENGESAKAN ALLAH TA’ALA PADA SEGALA SIFAT)

Maksudnya mengesakan Allah Ta’ala pada segala sifat ialah: mengembalikan, meninggalkan seluruh sifat-sifat yang ada pada makhluk ini kedalam sifat-sifat Allah s.w.t. dengan pengertian yaitu memfanakan sifat-sifat makhluk ini, kedalam sifat-sifat Allah Ta’ala sehingga tercapailah pandangan, bahwa tidak ada yang bersifat kecuali Allah Ta’ala saja.

Adapun tujuannya adalah untuk ma’rifat kepada Allah, sedangkan sifat-sifat yang ada pada makhluk ini adalah nyata sifat-sifat Allah Ta’ala. Dan sengaja Allah sahirkan sifat-sifatnya itu kepada hambanya atau makhluknya, karena rahmatnya supaya makhluk itu sendiri mempunyai tangga dan jembatan untuk mengenal sifat-sifat Allah. Dan bukan jadi dinding dan hijab untuk melihat sifat-sifat Allah, Tuhan yang kita cari, kita cintai.

Adapun kaifiat dan cara memandang sifat Tuhan itu ialah:

Engkau pandang dengan hatimu dan dengan mata kepalamu dengan hakkul yakin dan dengan itiqad yang putus, bahwasanya tidak ada yang bersifat dialam alam ini kecuali Allah. Seperti: kudrat, iradat, ilmu, hayat, sama, basyar dan kalam. Semuanya adalah sifat-sifat Allah.

Jadi sifat-sifat yang ada pada makhluk ini adalah sifat-sifat majaji belaka, bukan hakiki. Maka daripada itu nyatalah kepada kita bahwa sifat-sifat yang ada pada kita sekarang ini adalah nyata sifat-sifat Tuhan Allah semata. Kalau kita sudah mengembalikan sifat-sifat yang ada pada kita itu kepada Allah, niscaya fanalah sifat-sifat kita itu kepada sifat-sifat Allah. 

Sehingga tidak ada lagi yang bersifat, kecuali Allah. Jadi jelaslah sudah kepada kita bahwa: kita ini tidak punya perbuatan, tidak punya nama dan tidak punya sifat kecuali Tuhan. Sekarang tinggal lagi mengesakan Allah Ta’ala pada Zatnya.

BEBERAPA PENJELASAN

Sebelum kita membicarakan tentang tauhidul Zat. Maka marilah kita jelaskan dahulu tentang tauhidis sifat itu tadi. Didalam istilah ilmu tasawuf ada beberapa perkataan yang menyangkut masalah sifat itu tadi. 

Kata-kata itu seperti dibawah ini: 

ZAIDUN MAAQAAMA, MANQALA, MANFAKA, MAAKUMA, LA’UDMA, QADIMUN, LA HANA.

Maksudnya ialah: tentang dari sifat-sifat itu sebagai berikut: 

Sifat-sifat Allah itu tidaklah berdiri kepada ZAT. (tidak berdirinya seprti sifat hitam kepada sesuatu benda). Maksudnya tidak berpindah dari Zatnya, tidak terlepas daripada Zatnya. Dan tidak tersembunyi dari Zatnya, bukan berarti tidak ada. Dia qadim karena qadimnya zat, dan tidak akan binasa selamanya, jadi begitulah hakikat sifat-sifat Tuhan tidak pernah berpindah kepada makhluknya. Ia seperti nafi isbat jua, tidak bercerai dan tidak bersatu, tetapi memang satu dalam rahasia. Maka dari itu supaya hambanya dapat mengenal sifat-sifat Tuhan. Ia zahirkan NUR dan benderangnya sifat-sifatnya itu kepada Roh kita, seperti sudah kita jelaskan dahulu tadi.

Jadi kalau tahkik pandangan kita dengan cara demikian, niscaya fanalah sifat-sifat kita dan makhluk sekaliannya kedalam sifat Allah. Maka dapatlah kita rasakan bahwa: tidak mendengar kita, tidak melihat kita, tidak berkata-kata kita, tidak tahu kita, melainkan dengan pendengaran Allah, dengan penglihatan Allah, dengan kalam Allah, dengan tahunya Allah. Dan tidak hidup kita ini, melainkan hayatullah zat, hingga yang lainya daripada sifat-sifat Allah s.w.t. semata-mata. Demikianlah penjelasan hamba. Baiklah kita teruskan kepada mengesakan Allah Ta’ala pada ZAT, agar supaya para penuntut menjadi maklum adanya.

TAUHIDUL ZAT (ME-ESAKAN ALLAH TA’ALA PADA ZAT)

Mengesakan Allah Ta’ala pada zat adalah jalan yang terakhir dari perjalanan seorang salik. Disinilah titik terakhir bagi arifibillah untuk menuju Allah dan disini perhentian perjalanan kaum sufi dan para wali-wali.

Dan disinilah batasnya mi’rojnya orang-orang mukmin sejati. Apabila sudah mencapai kepada maqam tauhidul zat itu, maka diperolehnya kelezatan dan kenikmatan yang tiada taranya.

Hanya dengan itulah yang dapat memuaskan dahaga jiwanya: menenangkan qalbunya, nikmat-nikmat yang tak dapat diperoleh orang lainnya. Inilah puncak rasa menikmati ridhonya: puncak kebahagiaan yang kekal dan abadi sepanjang masa. Bermula kaifiat atau cara mengesakan Allah Ta’ala pada zatnya, yaitu: engkau pandang dengan mata hatimu dan curahkan seluruh perhatianmu itu semata-mata kepada Tuhan seru sekalian alam. Karena sudah nyata kepada kita bahwa: TIADA YANG MAUJUD DALAM ALAM INI, KECUALI ALLAH. DAN TIADA MAUJUD YANG DALAM UJUD INI, HANYA ALLAH. TIADA/TIDAK DALAM JUBAH MELAINKAN ALLAH. DAN TIDAK ADA DIDALAM YANG ADA INI, KECUALI DIA. Karena sudah jelas bagi arifbillah, bahwa: AL HAK ADA PADA NABI KITA MUHAMMAD S.A.W.

Kalau al hak ada pada nabi, demikianlah ada pada kita. Demikianlah hamba tambahkan supaya anda menjadi faham, dan supaya dapat melaksanakan tugas masing-masing.

Firman Allah Ta’ala: AL INSANU SIRRI WA ANA SIRROHU. Artinya: insan itu rahasiaku dan akupun rahasianya. Dan lagi firmannya: AL INSANU SIRRI WA ANA SIRRI WASIFATIN WA SIFATUN LAGOIRIH. Artinya: insan itu rahasiaku, rahasiaku itu sifatku, dan sifatku itu tiada lain daripada aku jua. Jadi jelas kepada kita bahwa memang: LA MAUJUDA BIHAQQIN ILALLAH. Artinya: tiada yang maujud didalam alam ini, melainkan Allah.

Pandangan yang demikian adalah dengan alasan-alasan:
  1. Semua zat makhluk itu nampak dilihat dengan mata ini, itu bukan hakiki (rusak). Dan itu hanya ujud hayali dan wahmi jua, yaitu sangka-sangka saja, dengan tidak beralasan, karena ujudnya berada antara dua ADAM. Sedang ujud yang berada antara dua itu, hukumnya ADAM, yaitu: ujud hayal.
  2. Sedang ujud Adam itu tiada maujud pada hakikatnya, hanyalah ia maujud kepada Allah Ta’ala yang hakiki dan fana dibawah ujudnya. Ujud yang lain daripada ujud Allah semuanya qaim, artinya berhajat kepada Allah Ta’ala. Jadi jelasnya begini dia tidak akan ujud, kalau tidak diwujudkan oleh Allah Ta’ala. Yaitu: yang biasanya disebut dengan majhor atau kenyataan ujud Allah Ta’ala.
  3. Adanya nyata: dan semua ujud alam ini adalah yang dimaksudkan hanya sekedar dalil titian untuk memandang kepada zat Allah Ta’ala.
  4. Jadi pada pelajaran yang lalu itu sudah kita jelaskan bahwa sifat-sifat yang ada pada makhluk ini nyata sifat-sifat Allah s.w.t. Jadi kalau demikian jelas dan nyata bahwa: zat makhluk ini berarti juga sesungguhnya nyata sifat dan af ’al,btidak lepas dari zat.
  5. Ujud semesta alam ini tak ubahnya laksana debu yang terbang atau diterbangkan oleh angin diangkasa: pada penglihatan mata ada, tapi kalau dicari tak ada. Kalau sekiranya ada ujud alam ini pada hakikatnya, maka pasti pula ada sifat-sifat atau af’al yang memberi bekas itu. Sedangkan semua itu sifat dan af’al yang memberi bekas itu tidaklah ada, selain daripada sifat dan af’al Allah Ta’ala semata-mata.
  6. SYEH SIDIK IBNU UMAR KHAN berkata: Semua ujud lain daripada Allah Ta’ala, laksana ujud sesuatu yang kita lihat dalam mimpi. Tidak ada baginya hakikat apabila kita terbangun dari tidur, maka hilanglah semua itu. Begitulah hendaknya pandangan kita terhadap ujud alam ini sesuai dengan hadist yang berbunyi: FALANNASU NIYA’AFAIJA MA’ATU INTABAHUA. Artinya; manusia adalah tidur apabila mereka mati, barulah mereka bangun atau jaga.
Baiklah hamba uraikan sedikit tentang hadist yang baru kita baca tadi, supaya kita faham. Manusia semuanya itu tidur, apabila bangun barulah mereka jaga, maksud hadist ini tadi ialah: orang yang hidup dengan hawa nafsunya sendiri, bagaikan orang yang tidur, walaupun ia dalam keadaan bangun. Mereka berbangga dengan nafsunya sendiri dan dengan akuanya, tetapi orang yang telah sampai kepada rahasia yang satu itu, itulah orang yang bangun dari tidurnya. Jadi siapapun yang masih tidur, maka mereka itu tetap betah pada nafsunya sendiri, yaitu yang belum mengembalikan hak Allah Ta’ala, mereka itu tetap dalam hak Adam.

Demikianlah sepintas kilas hamba uraikan dan yang dimaksud mati disini ialah: mati ma’nawi atau mati ma’na saja. Itu sesuai dengan hadist nabi s.a.w. yang berbunyi: ANTAL MAUTU QOBLAL MAUTU. Artinya: matikan dirimu sebelum engkau mati. Jadi disini adalah mati nafsu saja. Maka daripada itu untuk mematikan nafsu itu jalannya ialah melepaskan diri dari belenggu penjajahan hawa nafsu angkara murka. Jalannya ialah mengikuti jalan sufiah, yang mereka itu telah berada dipuncak. Demikian seperti apa-apa yang hamba uraikan menurut yang terdahulu itu. Untuk lebih mantapnya lagi, baiklah hamba bawa anda kedalam laut ma’rifat yang penuh dengan ombak dan badai, sehingga anda bisa mabuk karenanya. Mabuk disini artinya: Karam lenyap, hancur dan lebur kedalam hakikat hidup yang sebenarnya. Yaitu lebur kedalam hidup yang sejati telah Esa dengan seisi alam dan bersatu dengan seluruh perikemanusiaan.

Demikianlah contoh bagi orang yang hendak mengenal diri.  (Selanjutnya - Maqam Fana / Maqam Binasa)

File pdf:

https://googledrive.com/host/0B6BIN5otUZK0Tlc2QkZISVlFckU  
https://googledrive.com/host/0B6BIN5otUZK0LXVJSDMyYlZKdGs

KOMENTAR