Lanjutkan Al-Hikam, sebuah kitab tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama besar dan guru sufi bernama Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari. Berikut intisari Hikmah Sufi Kitab Al Hikam Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari:
(61)
“Di antara kebodohan murid (orang yang mempunyai kehendak untuk menuju kepada Allah) ialah buruk budi pekertinya, maka di tangguhkan siksa daripadanya, sehingga dia berkata: "Seandainya ini termasuk keburukan budi pekerti, pasti sudah diputuskan bantuan Allah”. Maka sesungguhnya telah diputuskan bantuan Allah daripadanya, hanya saja dia tidak merasa, meskipun hanya berupa tercegahnya tambahan. Dan kadang-kadang dia ditempatkan yang jauh tapi dia tidak mengetahui, meskipun tidaklah jauh itu kecuali Allah membiarkanmu dan apa yang kamu kehendaki”.
(62)
Jika kamu melihat seorang hamba yang mana Allah telah menjadikan kepadanya wirid 'dan dia tetap selalu menjaganya, tapi lama sekali datangnya pertolongan Allah (kepadanya). Maka dari itu janganlah menghina (meremehkan) apa yang Allah telah memberinya. Karena sesungguhnya kamu tidak mengerti tanda-tanda orang ma'rifat dan orang-orang yang cinta kepada Allah, maka seandainya tidak ada warid (karunia Allah) tentu tidak ada wirid (kontinyu di dalam menjalankan ibadah tertentu)”.
(63)
"Terdapat suatu kaum yang Allah telah mendudukkan (menempatkan) mereka untuk berkhidmad (beribadah) pada-Nya, dan terdapat pula kaum yang Allah telah memberikan keistimewaan kepada mereka dengan mencintai-Nya. Masing-masing Kami (Allah) berikan karunia pada mereka itu berupa pemberian Tuhannya. Dan tidaklah pemberian Tuhan itu terbatas".
(64)
"Sedikit sekali (jarang) ada waridat ilahiyyat (karunia) Allah yang dihasilkan, kecuali secara tiba-tiba, agar supaya orang yang ahli. ibadah tidak menganggap kalau Waridat ilahiyyat itu diperolehnya dengan persiapan".
(65)
"Barangsiapa yang telah melihat orang yang selalu melihat dari segala sesuatu dari yang ditanyakan, menceritakan dari segala sesuatu yang disaksikan dengan menyebutkan segala sesuatu yang diketahui, maka yang demikian ini menunjukkan adanya kebodohannya”.
(66)
"Sesungguhnya Allah telah menjadikan kampung akhirat itu sebagai tempat pembalasan hamba-hamba-Nya yang beriman. Karena sesungguhnya kampung dunia ini tidak memuat apa yang Allah menghendaki untuk memberi mereka. Dan sesungguhnya Allah mengagungkan pembalasan mereka daripada memberi balasan kepada mereka di tempat yang tidak ada keabadian baginya".
(67)
“Barangsiapa yang menemukan (merasakan) buah amalnya sekarang (di dunia) mereka itu adalah sebagai petunjuk di terimanya amal oleh Allah kelak".
(68)
“Jika kamu ingin mengetahui kedudukan dirimu di sisi Allah, maka lihatlah (perhatikan) di dalam apa yang Allah telah menempatkan dirimu”.
(69)
“Ketika Allah memberi rizqi ketaatan kepadamu dan merasa cukup dengan Allah dari ketaatannya, maka ketahuilah bahwasanya Allah melimpahkan kenikmatan ketaatan kepadamu lahir dan batin”.
(70)
“Sebaik-baik barang yang kamu minta dari pada-Nya adalah apa yang Allah telah menuntunnya darimu”.
(71)
“Merasa sedih karena tidak menjalankan ketaatan dengan tanpa ada kebangkitan (kegiatan) menjalankannya adalah sebagian dari tanda-tanda terperdaya oleh nafsu dan syetan”.
(72)
“Bukanlah orang yang ma’rifat itu orang yang apabila memberi isyarah maka dia merasa menemukan Allah lebih dekat kepadanya dari isyaratnya. Akan tetapi orang yang ma’rifat itu ialah orang yang baginya tidak ada isyarat karena ketiadaannya di dalam wujud Allah dan keterlipatannya di dalam melihat-Nya”.
(73)
“Pengharapan ialah sesuatu yang dibarengi dengan perbuatan bila tidak demikian, maka itu disebut angan-angan (lamunan)”.
(74)
“Harapan bagi orang ma’rifat kepada Allah adalah kesungguhan dalam mengabdi kepada-Nya dan dapat menunaikan hak kewajibannya kepada Tuhan”.
(75)
“Kelapangan itu agar supaya tidak menetapkan kamu bersama dalam kesempitan. Dan kesempitanmu itu agar supaya tidak meninggalkan kamu bersama dalam kelapangan. Dan Allah meluaskan (mengeluarkan) kamu dari keduanya itu agar kamu tidak tergantung kepada sesuatu selain Dia”.
(76)
“Orang-orang ma’rifat jika dalam keadaan lapang itu lebih rasa kekhawatirannya, daripada ia dalam keadaan kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab dalam keadaan lapang, kecuali sedikit”.
(77)
“Dalam keadaan lapang (longgar) nafsu itu ikut ambil bagian darinya dengan adanya wujud bergembira, sedang dalam keadaan sempit bagi nafsu tidak ada bagian sama sekali di dalamnya”.
(78)
“Terkadang (Allah) memberimu (sesuatu dari perkara dunia) tapi Dia menolak memberikan pertolongan kepadamu, dan terkadang (Allah) menolak memberikan (sesuatu perkara dunia), tapi Dia lalu memberimu pertolongan”.
(79)
“Jika Allah membukakan pintu kepahaman kepadamu dalam penolakan, maka (pada hakekatnya) penolakan itu kembali sebagai kenyataan pemberiannya”.
(80)
“Segala perkara yang ada di dunia ini pada lahirnya adalah tipuan, sedang pada batinnya adalah sebagai pelajaran. Dalam dua hal itu maka nafsu melihat kepada yang lahir sebagai tipuannya sedang hati melihat kepada batinnya sebagai pelajaran yang terkandung di dalamnya”. (Selanjutnya - Hikmah Sufi Kitab Al Hikam Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari (4).... 81)