2017-09-26

Kitab Ad-Durrun Nafis: Fasal 1 Tauhidul Af'al


FASAL 1 'TAUHIDUL AF'AL'

SYEIKH MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI (TOKOH SUFI BANJAR)

Kitab Ad-Durrun Nafis - Bermula fasal pertama pada menyatakan Tauhid Af'al, Artinya mengesakan Allah Ta'ala pada segala perbuatan. Ketahui olehmu hai salik, bahwasanya tiada yang melepaskan akan dikau daripada segala bahaya yang tersebut itu melainkan pandang dan syuhudmu akan bahwasanya segala perbuatan yang berlaku di dalam alam ini, sekaliannya daripada Allah Ta'ala/ Tuhan, sama ada perbuatan itu baik pada rupanya dan pada haqiqatnya, seperti iman dan taat, atau jahat pada rupanya tiada pada haqiqatnya. Seperti kafir dan ma'siat, kerana kafir dan ma'siat itu pada haqiqatnya baik jua, kerana terbit dari yang baik yaitu Allah Taala.

Dan tiap-tiap yang terbit daripada Allah Ta'ala itu baik jua pada haqiqatnya, tetapi jahat kedua pada rupanya, kerana syara' datang ia mencela akan dia.

Bermulakifiat memandang segala pebuatan itu daripada Allah Ta'ala, yaitu seperti bahwa dipandangnya dan syuhudnya dan dilihatnya dengan mata kepalanya dan dengan matahatinya, bahwasanya segala perbuatan terbit ia daripada Allah Ta'ala, dan membangsakan kepada yang lain dari Allah Ta'ala itu majazi (bayangan) jua, tiada pada haqiqatnya, kerana pada haqiqatnya, sekalian perbuatan itu daripada Allah Ta'ala jua, sama ada perbuatan itu daripada dirinya atau lainnya.

Sama ada dengan * مباشرة* atau *تولّد * . Dan artinya perbuatan dengan mubashirah itu yaitu yang berserta dengan qudrah yang baru, seperti gerak qalam pada tangan orang yang menyuruh. Dan artinya perbuatan dengan tawallud itu, yaitu yang jadi daripada perbuatan yang mubasyirah, yaitu seperti jatuh batu daripada tangan melempar.

Bermula dalil yang menunjukkan bahwasanya, segala perbuatan itu terbit daripada Allah Ta'ala jua, tiada daripada lainNya itu,

Firman Allah Ta'ala yang tersebut didalam Al Quran: 

Artinya, “Bermula Allah Ta'ala jua menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu”.

Kata syeih Muhammad Ibnu Aljazuli rahimallah dalam syarah 'Dalail Al Khairat':

“Tiada terbit daripada seseorang daripada segala hambanya, perkataan dan tiada perbuatan dan tiada gerak dan tiada diam, melainkan telah terdahulu pada ilmuNya dan qadhaNya dan qadarNya, 'intiha'.”

Dan firman Yang Maha Tinggi:

Artinya: “Tiada engkau melempar, ya Muhammad, tatkala berusaha engkau melempar, tetapi Allah Ta'ala jua yang melempar tatkala itu”.

Dan lagi sabda Nabi s.a.w:

Artinya: “Tiada daya pada menjauhkan ma'siat, dan tiada upaya pada mengerjakan ta'at, melainkan dengan daya dan upaya Allah Ta'ala, Tuhan yang Maha Tinggi lagi Maha besar jua”

Dan lagi sabda Nabi s.a.w:

Artinya, “Tiada bergerak di dalam alam ini suatu zarah jua pun melainkan dengan dengan izin Allah Ta'ala”.

Syahadan, maka manakala senantiasa engkau memandang kepada yang demikian itu, dan tahqiqlah engkau dengan Dia, niscaya lepaslah engkau daripada segala bahaya yang tersebut itu, dan engkau lihat dengan mata kepalamu dan dengan mata hatimu akan segala ujud majazi ini hapus ia di bawah nur ujud Allah yang sebenarnya.

Syahadan, manakala engkau kekalkan akan syuhudmu dan pandangmu akan bahwasanya keadaan segala perkara perbuatan itu terbit daripada Allah Ta'ala, dengan membiasakan dia sedikit, kemudian sedikit hingga tahqiqlah dengan yang demikian itu.

Maka apabila tahqiqlah engkau dengan dia dan jadilah kepadamu itu musyahadah, artinya berpandangan dan tiada bercampurlah dengan pandanganmu zahirmu dan bathinmu, maka barulah sampai engkau kepada maqam wahdatul Af'al, artinya Esa Allah Ta'ala pada segala perbuatan, yaitu 'ibarat ia daripada fana' segala perbuatan makhluk ini, sama ada perbuatan dirinya atau perbuatan lainnya, Sekaliannya itu fana' di bawah perbuatan Allah Ta'ala, sekiranya tiada dilihat di dalam akuan itu sesuatu, perbuatan Allah Ta'ala jua, sama ada perbuatan itu baik atau jahat.

Dan dalil yang menunjukkan dan mentahqiqkan bahwasanya kejahatan itu daripada Allah Ta'ala, yaitu yang tersebut

Dalam hadis, yang warid dari doa Nabi s.a.w

Artinya, “Hai Tuhanku berlindung aku kepadaMu daripada kejahatan daripadaMu”

Maka jika tiada kejahatan daripada Allah Ta'ala, niscaya tidak minta berlindung Nabi s.a.w kepada Allah Ta'ala daripada kejahatan. Maka nyatalah daripada itu bahwasanya, segala perbuatan yang baik dan jahat itu daripada Allah Ta'ala jua datangnya, seperti yang telah terdahulu sebutnya itu.

Dan lagi firman Allah Ta'ala tafsirnya,

“Katakan olehmu ya Muhammad, segala kebajikan dan kejahatan itu daripada Allah”.

Syahadan, dibuat mithal oleh setengah daripada arifin billah kerana menghampirkan faham jua, tiada pada haqiqatnya. Maka adalah segala makhluk hamba itu seperti umpama wayang yang diperlakukan akan dia oleh dalang, barang bagi jelas kelakuan. Maka seperti tiada bagi wayang itu punya perbuatan sendirinya. Demikian itulah hamba dengan Tuhannya.

Tetap, sesungguhpun seperti demikian itu, yakni segala perbuatan itu perbuatan Allah Ta'ala jua. Maka jangan engkau melampaui akan syariat Muhammadiyah, yaitu wajib atasmu mengerjakan segala yang disuruhkan Allah Ta'ala dan RasulNya dan wajib atasmu menjauhkan segala yang dilarangNya, jangan sekali-kali 'itiqadkan gugur taqlif syara'. Maka jikalau engkau 'itiqadkan gugur taqlif syara' niscaya jadilah engkau kafir zindiq 'nauzubillah min zalik'. Dan berpeganglah engkau pada syariat Muhammadiyah serta engkau 'itiqadkan dan engkau pandang dengan mata hatimu akan segala perbuatan itu daripada yang baik dan jahat sekaliannya perbuatan Allah Ta'ala.

Dan lepaslah engkau pada ketika itu daripada syirik khofi dan lain-lainnya, daripada segala perkara bahaya yang tersebut itu. Kerana manakala engkau pandang kepada dirimu ada baginya sesuatu perbuatan, niscaya tiada sunyi engkau itu daripada syirik khofi, dan jikalau lepaslah engkau daripada syirik jalli sekalipun.

Dan arti syirik jalli itu, menduakan Allah Ta'ala adaNya, tetapi tiada lepas dan keluar dari syirik.

Seperti firman Allah Ta'ala artinya,
”Dan tiada percaya kebanyakan daripada mereka itu akan Allah Ta'ala, melainkan padahal mereka itu menyekutukan akan Dia, dengan sebab memandang ujud yang lain daripadaNya dan dengan sebab mengatakan perbuatan itu kepadanya”.

Sebab itulah kata Sidi Umar Alfarish r.a
Artinya: "jikalau terlintas di dalam hatiku suatu kehendak akan yang lain daripadaMu atas khatirku, jikalau dengan lupa sekalipun, nicaya aku hukumkan diriku itu dangan murtad”.

Dan tetapi, engkau dikatakan di dalam kitabNya musyrik, dikeluarkanNya daripada orang yang mu'min yang sebenarnya, sebab yang demikian itu. Dan tiada dibilangkanNya engkau daripada orang yang menjalani akan jalan mu'min yang sebenar, melainkan bahwa engkau pandang, tiada Yang berbuat, tiada Yang Hidup dan tiada Yang maujud di dalam ujud ini, hanya Allah Ta'ala sendirianNya jua.

Maka ketika itu baru engkau dinamai mu'min yang sebenarnya, dan lepaslah engkau daripada syirik khofy, dan keluarlah engkau pada ketika itu daripada dinamai Allah Ta'ala di dalam Al Quran dengan Musyrik.

Dan jadilah engkau pada ketika itu daripada ahli Tauhid yang sebenarnya, daripada orang yang mempunyai syurga yang bersegera di dalam dunia ini. Maka lazimlah olehmu atasnya kerana bahwasanya, ia sifat yang amat mulia, yang menetapkan akan dikau kepada yang lagi akan datang di dalam akhirat.

Maka engkau perolehi akan nikmat dua syurga, seperti firman Allah Ta'ala artinya, bermula dua syurga itu bagi barangsiapa yang takut ia akan maqam TuhanNya.

Syurga yang pertama itulah syurga ma'rifah akan Allah Ta'ala dia dalam dunia ini. Dan syurga yang kedua itulah syurga yang maklum, yang disebutkan Allah Ta'ala akan dia di dalam Al Quran yang mulia, yaitu di dalam akhirat, yang lagi akan datang.

Kata Syekhuna Al Alimul Alamahtu Biharul 'Arik' Maulana as Syekh Abdullah ibn Hijazi Lis Syarkawi Al Masry rahimallah:

”Barangsiapa masuk kepada syurga ma'rifah di dalam dunia ini, niscaya tiada rindu ia kepada syurga akhirat dengan nisbah daripada bidadarinya dan mahligainya, bukan dengan nisbah daripada barang yang hasil di sana, yakni di dalam akhirat, daripada ru'yah Allah Ta'ala dan damping kepada hadrat Allah Ta'ala dan ma'rifah akan Allah Ta'ala”.

Maka menjauh segala perbedaan antara dua hal itu. Yakni hal di dalam dunia ini dan hal di dalam akhirat, kerana bahwasanya barang yang dibukakan atas segala hati orang yang arif di dalam dunia ini. Hanyasanya, yaitu baru setengah daripada barang yang disediakan oleh Allah Ta'ala kepada mereka di dalam akhirat, kerana muliakan mereka itu di dalam dunia ini. wallahu 'alam.

(Maka hubaya-hubaya), takut olehmu daripada bahwasanya lupa engkau daripada memandang wahdatul af'al itu, yang ia menyampaikan akan dikau kepada memandang kepada memandang keelokan Yang wajib Ujud. Dan takut olehmu bahwa bangsakan dirimu pada mengadakan sesuatu perbuatan barang perbuatan ada ia.

Tanbih ya ihwani. Artinya ini suatu perkataan yang menjagakan hai sekalian saudaraku. bermula hasil kata Syekh Abdul Wahab as Sya'rani Qadasallah sirruhu di dalam kitab Al Juahirud Durrur, Ia manqul (di didatangkan) dari perkataan Syekh Muhaiyiddin ibn Arabi r.a:

”Bermula segala akuan itu sekalian dinding yang mendindingi daripada memandang haq Allah Ta'ala pada hal haq Ta'ala jua, Yang berbuat Ia, dibalik hijab akuan ini, tiada ia mendindingi akan kita daripada memandang Allah Ta'ala”.

Dan adalah mithalnya seperti bayang-bayang kayu yang dalam air itu, tiada ia menegahkan lalu perahu, hanyasanya yang mendinding itu sangka kita kepadanya jua dan pandang kita kepadanya jua. Maka barangsiapa terbuka daripadaNya hijab itu, niscaya dilihatnya yang memperbuatkan segala perbuatan itu Allah Ta'ala sendirinya. Dan barangsiapa tiada terbuka hijab itu, terdindinglah dengan akuan ini daripada memandang kepada fai'il yang haqiqi, yakni yang berbuat sebenarnya, yaitu Allah Ta'ala.
Maka tiap-tiap adalah mazhab kaum pada segala perbuatan hamba itu empat mazhab:

Pertama kaum yang tiada mengetahui mereka itu akan bahwasanya Allah Ta'ala itu yang berbuat Ia akan segala perbuatan ini dan hanya di'itqadkannya oleh mereka itu bahwasanya yang merupakan segala perbuatan hamba yang baru itu hamba jua.

Dan adalah qudrah hamba itu baru itu memberi bekas ia pada segala perbuatan hamba yang baru. Maka yaitu mazhab mu'tazillah yang bid'ah lagi fasik.

Kedua mazhab Jabariah; yaitu kaum yang mengetahui mereka itu dan memandang mereka itu akan bahwasanya segala perbuatan itu sekaliannya dari Allah Ta'ala sendiriNya. Dan keraslah atas mereka itu memandang segala perbuatan itu daripada Allah Ta'ala sendiriNya. Dan tiada sampai mereka itu kepada menyandar akan segala perbuatan itu bagi hamba, kerana kurang mereka itu daripada darjat kamal, maka tersalahlah mereka itu daripada jalan syariat dengan sebab tiada menyandarkan segala perbuatan hamba itu kepada mereka itu. Maka yaitu 'itiqad zindiq.

Ketiga kaum yang mengetahui mereka itu akan bahwasanya, segala perbuatan itu sekaliannya daripada Allah Ta'ala, tetapi ada bagi hamba itu usaha dan ikhtiar.

Dan dengan keduanya itulah hamba memperbuat segala perbuatannya dan keduanyalah tempat ta'lik hukum syara', tetapi kedua-duanya itu tiada sekali-kali memberi bekas pada perbuatan yang baru, hanya memberi bekas itu Allah Ta'ala sendiriNya jua. Maka yaitu As'ariyah ialah 'itiqad yang maqbud (dipegang), yang selamat daripada bahaya dunia dan akhirat, tetapi tiada sampai mereka itu kepada martabat kasyaf kerana terdinding mereka itu dengan sebab mengata usaha dan ikhtiar itu dari hamba jua, tiada dipandang akan segala perbuatan itu daripada Allah Ta'ala sendiriNya.

Maka tiap daripada segala thoif (gulungan) yang tiga itu adalah atas penglihatannya itu Ghisyawah (kabur/ keliru), yakni dinding yang menutupi daripada sampai penglihatan mereka itu kepada memandang wahdatul Af'al selama-lamanya. Mereka itu di dalam dinding tertutup, tiada sampai kepada maqam kasyaf dan musyahadah dan mukafahah.

Keempat mazhab Ahli Kasyaf, yakni orang yang terbuka kepada mereka itu dinding, yaitu kaum yang memandang akan kejadian segala perbuatan itu daripada Allah Ta'ala dan keinderaannya itu daripada hamba. Mithalnya seperti qalam orang yang menyurat adalah menjadikan huruf itu orang yang menyurat jua. Dan qalam itu menjadi alat persandaran menyurat jua. Adalah hamba itu seperti qalam tiada baginya perbuatan, dan hanya yang berbuat, orang yang menyuruh jua. Wallahu 'alam. Yakni segala yang berlaku di dalam segala alam ini, Allah Ta'ala jua yang menjadikan dia. Intiha'

(Dan lagi kata) Syekh Abdul Wahab as Sya'rani telah menyebutkan Syekh Muhaiyuddin ibnu Arabi r.a pada bab yang keempat ratus dua puluh daripada Futuhatul Makiyah akan barang yang menamakan ia akan bahwasanya segala amal itu daripada Allah Ta'ala jua hanyasanya menyandarkan Allah Ta'ala akan segala amal dan perbuatan itu kepada kita kerana keadaan kita tempat menanggung siksa dan pahala padahal perbuatan itu bagi Allah Ta'ala jua pada haqiqatnya tetapi tatkala menda'wi kita pada ketika berhenti di dalam hijab akan bahwasanya segala amal kita dan perbuatan kita itu bagi kita jua maka menyandarkan Allah Ta'ala itu akan dia kepada kita dengan sekira-kira da'wi kita berbuat kerana coba daripada Allah Ta'ala kepada kita maka apabila masuk kita kepada hadrat ihsan dan maka nipislah dinding hijab niscaya kita lihatlah akan segala amal itu terbit dari Allah Ta'ala pada kita tiada kita mengamalkan segala amal dan segala perbuatan itu.

Kemudian apabila sampailah kita kepada musyahadah itu niscaya takut kita akan tergelincir kidam (kaki) kita pada barang yang telah menamakan Allah Ta'ala akan perbuatannya itu kepada kita kerana setengah daripada adab itu bahwa menyandarkan ia akan barang yang telah menamakan Allah Ta'ala akan sesuatu kepada kita serta pengetahuan kita dengan barang yang telah kita ketahui itu kerana mengamal akan

Firman Allah Ta'ala:
Artinya: “Barang yang mengenai akan dikau daripada kebajikan itu maka yatu daripada Allah Ta'ala dan barang yang mengenai akan dikau daripada kejahatan itu yaitu dari usaha dirimu.”

Shahadan kata Syekhuna al Aalamah Maulana Assyech Yusuf Abu Zharah Almasry pada ketika tadarrisnya (mengajarnya) di dalam masjidil Haram tiada harus mengatakan kejahatan itu daripada Allah Ta'ala melainkan pada maqam ta'alim jua intiha'.

(Dan kata) Syekh Ibnu Hajar di dalam Syarah Arbain pada sabda Nabi saw. Di dalam setengah daripada segala doa iftitah artinya bermula kejahatan itu bukan ia daripadamu kerana mengajari bagi adab bahwasanya tiada harus disandarkan kepada Allah Ta'ala segala yang menghina akan dia seperti tiada harus dikata Allah Ta'ala itu ia menjadikan anjing dan babi dan jika ada ia menjadikan tiap-tiap sesuatu sekalipun kerana adab (maka tiap-tiap) adalah menyandarkan perbuatan kepada kita itu kerana menghikayatkan akan firman Allah Ta'ala jua intiha'

(dan lagi kata) Syekh Abdul Wahab As Sya'rani qadasallahu sirrahu kepada Syekhnya Sidi Ali Al Khawas r.a

(soal) apa haqiqat usaha mengatakan iman as'ary itu
(maka jawabnya) r.a (bermula) haqiqat usaha itu yaitu ta'lik irodat mumkin dengan memperbuat barang perbuatan ada ia maka diperolehi taqdir ilahi pada ketika ta'lik irodat itu maka dinamai mereka itu akan yang demikian usaha bagi mumkin pada ma'ani bahwasanya mengusahakan munafaat dengan dia itu kemudian daripada sudah berkehendak kepadanya yakni berkehendak kepada taqdir ilahi itu

(dan lagi) kata Syekh Abdul Wahab as Sya'rani qadasallahu sirrahu telah aku dengar akan dia yakni Sidi Ali al Khawas r.a

“Segala yang lainnya berkata ia wajib atas hamba itu bahwa mengetahui akan bahwasanya tiada memberi bekas segala-galanya bagi makhluk pada memperbuat sesuatu daripada sekira-kira taqwin hanyasanya baginya hukum jua faqad” (saja, cuma)

Maka fahamkan olehmu kerana bahwasanya kebanyakan manusia tiada dapat membedakan ia antara hukum dan atsar ayat

(berkata) Syekh ia pula yakni Sidi Ali al Khawas ra :

“(bermula) kenyataan yang demikian itu bahwasanya haq Allah Ta'ala itu apabila menghendaki ia mengadakan akan harkat atau ma'ani daripada segala pekerjaan yang tiada sah ujudnya melainkan pada segala madahnya kerana mustahil bahwa berdiri ia dengan sendirinya maka tiada dapat tiada daripada ujudnya mahal (@ tempat @ wadah) yang menzahirkan ia akan taqwin (=keberadaan) perkerjaan ini yakni pekerjaan yang tiada berdiri ia dengan sendirinya maka mahal @ (tempat hinggap) yaitu hamba yang dihukumkan ia dengan mengadakan maka mumkin ini padahal tiada sekali-kali baginya itu atsar dalamnya intiha'

(dan lagi kata) Syekh Abdul Wahab as Sy'arani qadassalahu sirrahu:
”Telah aku dengar saudaraku Afdaluddin rahimallah ta'ala berkata ia: ”tiada sekali-kali bagi mumkin itu qudrah hanyasanya baginya menerima aasar ilahi kepadanya jua kerana bahwasanya sifat itu yakni qudrah itu sifat daripada ketentuan tunggal ketuhanan yaitu keadaan yang berkuasa maka mengisbatkan qudrat bagi mumkin itu da'wi dengan tiada dalil”

(dan lagi berkata ia) yakni Syekh Afdaluddin rahimallah ta'ala:

”bermula kata kami ini muafakat serta asa'riyah yang mengisbatkat mereka itu bagi qudrat hamba serta menafikan perbuatan daripadanya intiha'

(dan lagi kata) Syekh Abdul Wahab As Sya'rani qadassalahu sirrahu dan telah menyebutkan oleh Syekh Muhayiddin radiallau anhu pada bab seratus dua puloh daripada ”futuhul makiyah”

”Bahwasanya mengisbatkan qudrah bagi mumkin menafikan fa'il daripadanya itu setengah daripada segala masalah yang amat sukar kerana membawa kepada keadaan fa'lun (dan lagi berkata ia) yakni Syech Muhayiddin r.a dan tiada membukakan Allah Ta'ala atasku dengan menghilangkan labisa yakni samar pada masaalah ini yakni hal keadaan fa'lun padahal bukan fail melainkan pada malam ketika aku menyurat akan tempat ini pada tahun hijrah enam ratus tiga puluh tiga dan sanya sukar atas aku mentafsilkan antara yang usaha yang mengata akan dia kaum ahli sunah dan khalqhi (خلق) yang mengata akan dia kaum mu'tazillah maka mengurniakan taufik Allah Ta'ala akan daku dengan membukakan penglihatanku atas mula-mula kejadian makhluk yang tiada mendahului akan dia makhluk kerana tiada ada ketika itu melainkan Allah Ta'ala jua”

(maka firman Allah Ta'ala) bagiku di dalam sirr ku tilik olehmu akan dia di sana mula-mula kejadian makhluk adakah perkerjaan itu mewaris labisa dan hairan (maka) sembahku tiada ya rabb (maka) firmannya bagiku seperti demikianlah sekalian barang yang engkau lihat akan dia daripada segala yang baru tiada bagiku seorang di dalamnya yang memberi bekas dan tiada suatu daripada makhluk maka akulah tuhan yang menjadikan segala asyia' pada sisi asyia' tiada dengan asbab maka adalah dengan perkerjaanku jadikan nafhun pada Isa dan kejadian taqwin pada thoir

(maka) sembahku baginya ya rabb maka apabila adalah seperti demikian itu maka tiap-tiap adalah dirimu yang engkau khitob dengan katamu perbuat olehmu dan jangan engkau perbuat

(maka firmannya) bagiku apabila aku perlihatkan akan dia kau dengan sesuatu daripada ilmuku maka lazimlah olehmu adab kerana bahwasanya hadrat ini tiada menerima ia akan saat menidak-nidakkan akan perbuatan tuhan seperti firmannya artinya jangan ditanya akan barang yang aku perbuat dan sekalian kamu itu akan ditanya intiha'

(kata) Syekh Abdul wahab As Sya'rani
(syahadan) jikalau itu jua musyahadahkan insyaallah Ta'ala sampai jua ia kepada Allah Ta'ala kerana maqam tauhidul af'al ini maqam yang di bawah segala-gala daripada segala maqam arifin maqam tauhidul af'al ini satu martabat daripada beberapa martabat orang yang sampai kepada Allah Ta'ala kerana jalan sampai kepada Allah Ta'ala itu empat martabat seperti lagi yang akan datang insyaalah Ta'ala pada akhir khotimah

"Tiap-tiap" adalah sifat-sifat dualisma tuhan. "TIAP" adalah sifat fungsi ketuhanan

(shahadan) maqam inilah yang mula-mula ia anugerah akan Allah Ta'ala kepada orang yang salik atau kepada orang yang lainnya yaitu seperti orang yang majzub umpamanya dan arti majzub itu orang yang diambil Allah Ta'ala dengan terkejut serta dirinya tahu akan mengenal zatnya dan sifatnya dan asmanya dan afalnya daripada tiada mengerjakan ibadat dan tiada talqin daripada guru dan tiada ijazah masyaikh

(shahadan) bahwasanya maqam inilah natijahtus suluk dan samarahnya artinya jadi daripada orang yang salik dan buahnya (dan) arti salik yaitu orang yang bersungguh-sungguh ia ijtihadnya berbuat ibadat kepada Allah Ta'ala dengan riadhoh ijazah akan dia oleh syehnya kepadanya dengan tiada cedera ia pada mengerjakan akan dia dan tiada menyalahi ia akan barang disuruhkan akan dia oleh gurunya daripada segala ibadat dan lainnya (dan) arti arif itu yaitu orang yang mengenal Allah Ta'ala dan mengenal hamba lagi dapat ia membedakan antara kholiq dan makhluk dan musyahadah segala yang tersebut itu

(dan maqam inilah) maqam yang pertama daripada maqam arifin yang meyampaikan ia kepada maqam yang di atasnya yaitu maqam tauhidul asma yaitu maqam yang kedua daripada segala maqam ariffin. (Selanjutnya -  Fasal 2 Tauhid Asma)

Load comments