2017-12-19

Ajaran Makrifat Jawa: Jalan Mencapai Hidup Sejati secara Taraqi (Mendaki)


Ki Ageng Pengging, berkata “berapa lamakah saya mati di dunia ini. Masih lama lagikah hidup saya nanti?, saya tentu kembali hidup”.

Menurut Ki Ageng Pengging, “yang mengatakan bahwa sekarang hidup dan besok adalah mati, itu ucapan santri yang terkutuk, mabuk tobat, mengharapkan sesuatu yang belum pasti”. Pendapat ini sekilas sulit diterima. Namun belakangan para sunan mau mengakui kebenaran ajaran Siti Jenar tersebut.

Kehidupan yang dilihat orang ini adalah kehidupan paling luar, fisik semata. Padahal fisik atau jasmani ini adalah hijab atau penghalang Tuhan yang paling luar. Kebanyakan manusia tertipu oleh penampakkan jasmani ini.

Manusia yang hidupnya hanya berorientasi pada fisik semata, ia tidak lebih seperti bangkai. Fisik manusia tidak ada bedanya dengan hewan, tumbuhan dan benda-benda bumi lainnya. Semuanya berasal dari unsur tanah, api, air dan udara.

Pertama 

Dalam bidang keilmuan pun tak jauh beda. Saat ini, bidang ilmu pengetahuan yang dianggap favorit dan paling banyak diminati adalah ekonomi, matematika dan sejenisnya, semua mengarah pada obyek fisik dan ujung-ujungnya untuk mendapatkan materi. 

Kebanyakan manusia lebih disibukkan dengan urusan fisik hingga semakin tebal dinding untuk dapat melihat Tuhan. Kesuksesan hidup manusia diukur dengan uang dan harta benda yang merupakan materi fisik. Hampir semua manusia akan menjadikan materi ini sebagai tolok ukur utama kesuksesan seseorang. Maka dapat dikatakan, kebanyakan manusia terhijab atau terhalang pandangannya untuk melihat Tuhan oleh dinding yang paling luar atau Alam Ajsam.

Kedua 

Manusia adalah makhluk yang berjiwa. Ia diberi anugerah akal untuk berpikir. Inilah yang membedakan derajat manusia dengan makhluk lainnya. Manusia juga diberi hati agar dapat merasakan.

Manusia yang telah mampu mengaktifkan akal dan hatinya berarti ia selangkah lebih maju dibanding manusia yang hanya mengandalkan kelebihan fisik semata. 

Namun, Tuhan memberikan akal dan hati ini pun rupanya bertingkat-tingkat.

Kerja akal manusia yang paling bawah adalah ‘aql atau akal, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, afalaa ta’qiluun. Kerja akal ini adalah memikirkan segala sesuatu yang bersifat ke-alam-an. Dengan menggunakan akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan, dalam kehidupan duniawi.

Misalnya adalah teori kebenaran fisika, ekonomi, biologi dan sebagainya. Semua itu akan membawa kebaikan dan kemajuaan hidup manusia secara jasmani, namun tidak menyentuh aspek ruhaninya. Inilah yang banyak terjadi. Sehingga kebanyakan manusia pandai menggunakan akalnya untuk masalah kebendaan. Tujuan mereka adalah uang.

Demikian pula dengan kerja hati, ia juga memiliki beberapa tingkatan. Yang terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk. Manusia yang hanya menggunakan kerja ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. 

Kalaupun berbuat baik, lebih sering disertai pamrih lainnya seperti agar dipuji atau untuk yang lainnya. 

Inilah hijab Tuhan yang lebih tipis dibandingkan dengan fisik. 

Setidaknya manusia yang sudah bisa mengendalikan akal dan hati yang pertama ini akan lebih mudah mengenal Tuhan daripada mereka yang masih terkurung dengan masalah fisik semata.

Lebih tinggi lagi, sebagian manusia sudah mampu mengaktifkan kerja ‘aql kedua, yakni fikr sebagaimana firman Allah, afalaa tatafakkaruun. Dengan fikr ini manusia sudah mampu menjangkau hal-hal yang tidak tampak di dunia namun nyata kebenarannya seperti surga, neraka, setan dan sebagainya.

Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenal Tuhan secara sempurna, maka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuannya. Adanya sorga, neraka, setan malaikat merupakan penggerak agar mereka mau menyembah Tuhan. 

Sayyidina Ali menyebut manusia yang seperti ini sebagai hamba yang berjiwa budak dan pedagang, yakni yang hanya mau menyembah Tuhan jika diancam dengan neraka dan dijanjikan sorga.

Inilah golongan yang dikatakan Siti Jenar sebagai kaum santri yang terkutuk dan mabuk tobat. Beribadah untuk mengharap sesuatu selain Tuhan.

Namun setidaknya, manusia yang sudah terbuka kerja fikr-nya seperti ini lebih baik daripada mereka yang masih terkungkung nafsu duniawi. Ini adalah jalan untuk mengenal Tuhan lebih lanjut. Manusia yang telah mampu memahami, menghayati dan merasakan kehadiran alam surga, neraka, malaikat, setan serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya berarti ia telah memasuki pengenalan terhadap Alam Misal sebagai bekal untuk mengenal Tuhan lebih lanjut.

Ketiga 

Selanjutnya, manusia diharapkan mengenal ruhnya. Inilah nyawa yang membuat jasmani dan jiwa manusia menjadi hidup. 

Jasmani tidak akan bergerak jika tidak ada komando dari jiwa, dan jiwa tidak akan dapat memberi komando, jika tidak terdapat ruh didalamnya. Inilah yang bisa dipahami kebanyakan orang yang masih hidup.

Selama ruh masih melekat dalam jasmani seseorang maka orang tersebut dikatakan masih hidup. Ketika sedang tidur, manusia tidak bergerak dan tidak merasakan sesuatu karena jiwanya keluar dari jasad, namun ia tetap dikatakan hidup, karena ruhnya masih berada dalam jasad. Ketika bangun, jiwa kembali menyatu dalam badan hingga hidup kembali sempurna. 

Ketika ruh terlepas dari badan, otomatis jasmani tersebut tidak dapat dipakai lagi. Jiwa tidak lagi mampu menggunakannya, hingga ia disebut mati.

Ruh ini juga dengan nyawa. Dalam Al-Quran, Tuhan meniupkan ruh manusia ini yang berasal dari ruh-Nya.

Ki Ageng Pengging mengatakan nyawa manusia berada dalam tirta nirmala atau air kehidupan, maa’ul hayat. Ia berada dalam uni nong ana nung atau Dzat Tuhan, maka ia mampu mencabut nyawanya sendiri, sebagaimana Syekh Siti Jenar, karena telah melebur dirinya dengn Dzat Tuhan.

Syekh Siti Jenar mengaku dirinya sebagai Dzat Allah dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Baginya kodrat atau kekuasaan dan iradat atau kehendak Tuhan sebagai ilmu sejati. Semua sifat Tuhan yang dua puluh jumlahnya, jika digulung menjadi satu dan melekat dalam budi, budi menjadi lestari, kekal selamanya.

Ini berarti, wujud mutlak itu akan menjadi Dzat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal dan tiada bertujuan. 

Siti Jenar telah bersemayam dalam Kodrat atau kekuasaan Tuhan hingga ia berkuasa untuk mengambil nyawanya sendiri, serta bersemayam dalam Iradat atau kehendak Tuhan hingga kehendaknya adalah kehendak Tuhan. Kapan saja ia mau, ia bisa melakukannya. Dengan mudah ia menutup sumber air kehidupannya, atas Kuasa dan Kehendak Dzat Tuhan dalam dirinya, hingga ia pun mengambil nyawanya sendiri.

Ruh atau nyawa manusia berasal dari Tuhan secara langsung. Adapun jasmani hanyalah gambaran maya saja, sekedar simbol. Jasmani ini menjadi penghalang bagi manusia yang tidak mampu menangkap rahasia diciptakannya jasmani tersebut. 

Namun bagi orang yang sudah tersingkap pandangan batinnya, ia akan melihat Dzat Tuhan dalam dzatnya.

Bagi Siti Jenar, jasad adalah Rupa Tuhan. Menurut Wali Songo. Kepala manusia adalah singgasana kemakmuran tuhan, dada manusia adalah singgasana kemuliaan Tuhan, dan kemaluan manusia adalah singgasana kesucian Tuhan. Keduanya tak jauh berbeda, jasad manusia adalah gambaran dari Rupa Tuhan.

Melalui pandangan ini, mengenal Tuhan pun bisa dilakukan melalui jasmani dengan menganggapnya sebagai gambaran dari Wajah Tuhan. Adapun Dzat Tuhan sesungguhnya adalah dalam rasa. 

Demikian pula dengan jiwa, ia adalah gambaran dari perbuatan, nama, dan sifat Tuhan, sehingga mengenal Tuhan juga bisa dilakukan melalui gambaran jiwa diri dan orang lain. Yaitu melihat perbuatan, nama dan sifat setiap orang sebagai perbuatan, nama, dan sifat Tuhan.

Menurut Syekh Siti Jenar, alam semesta ini tidak diciptakan, tetapi menemukan keadaan. Tuhan tidak menciptakan barang baru. Dia Maha Tunggal sehingga apa saja yang Dia ciptakan pada dasarnya adalah Dia juga, karena bahannya berasal dari-Nya. Demikian pula dengan alam semesta ini, sebagai penampakan Tuhan. 

Alam Ajsam atau jasmani ini adalah gambaran Wajah Tuhan dan Alam Misal atau alam jiwa ini adalah gambaran perbuatan, nama, dan sifat Tuhan. Semua itu pada dasarnya adalah Tuhan juga.

Atas dasar inilah Syekh Siti Jenar berniat menggulung semua perbuatan, nama, dan sifat dalam dirinya dan menyatukan dengan Rupa Tuhan hingga manunggal menjadi Dzat. Dengan demikian, sempurnalah hidupnya, langgeng abadi selamanya.

Keempat 

Ruh manusia Satu dan ruh manusia lainnya pada dasarnya satu, karena berasal dari sumber yang satu, yaitu Ruh Agung atau Nur Muhammad. Nur Muhammad dalam hal kemakhlukan ini disebut Martabat Wahidiyat. Manusia yang mengira bahwa hidupnya bergantung pada ruh bagian yang berasal dari Ruh Agung, akan berpendapat bahwa hidupnya di dunia ini sebagai kehidupan sejati. 

Padahal, ruh yang diperoleh di dunia tersebut hanyalah sekedar tiupan kecil dari Ruh Agung tersebut.

Berbeda dengan Syekh Siti Jenar, ia menganggap hidup di dunia sebagai kematian karena ia terlempar dari Ruh Agung kepada ruh kecil di dunia. Maka ia begitu rindu untuk secepatnya kembali pada Ruhnya yang utuh.

Kelima 

Ruh Agung pada Martabat Wahdah ini bukan lagi sebagai makhluk, namun lebih dekat pada sifat Ketuhanan. Dia adalah Satu, namun masih bukan Tuhan yang sesungguhnya. Dalam keadaan ini, Ruh bukan lagi makhluk dan tidak berkaitan dengan makhluk.

Keenam 

Akhirnya, semua sifat Tuhan dalam Martabat Wahdah, termasuk sifat Hayyun atau Maha Hidup, yaitu Ruh Agung termasuk di dalamnya, digulung menjadi satu, jadilah Dzat Tuhan atau Uni nong ana nung atau Aku.. 

Di sinilah Syekh Siti Jenar menemukan pelabuhan akhir hidupnya, inilah hidup sejati yang diidamkannya. Dalam keadaan Dzat ini, Syekh Siti Jenar merasa hidup secara utuh, tanpa badan dan jiwa.

Syekh Siti Jenar menggambarkan keadaan hidup sejati dalam Dzat Tuhan sebagai berikut:

Ia mengaku diri sebagai Dzat Allah dan menganggap budi serta kesadaran manusia sebagai Tuhan. Tuhan yang ada dalam manusia mempunyai dua puluh sifat yang bersifat qidam dan baqa, sifat yang dahulu yang meniadakan permulaan. Olah tingkah raga yang tidak wajar itu bertentangan dengan pendapat Siti Jenar. Itu termasuk barang baru.

Bagi Siti Jenar, Kodrat atau kekuasaan dan Iradat atau kehendak Tuhan itu adalah ilmu yang sejati. 

Dua puluh sifat Tuhan jika digulung dan melekat dalam budi akan menjadikan budi lestari, kekal untuk selamanya. 

Ini berarti wujud mutlak itu akan menjadi apa yang disebut Dzat, tiada bermula, tiada berakhir, tiada berasal dan tiada bertujuan. Serta mengenal keyakinan pada tekad sifat Allah.

Syekh Siti Jenar menganggap Hyang Widi, wujud yang tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti kenampakan raga yang tidak nampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan yang tiada berdusta. Ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yang tiada meniadakan permulaan, karena berasal diri pribadi.

Selanjutnya Syekh Siti Jenar berpikir, “Hyang widi kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baqa bersifat abadi, tanpa antara. Tiada terkena sakit atau rasa tidak enak. Ia berada baik di sana maupun di sini, bukan ini bukan itu. 

Maka, tingkah yang banyak dilakukan dan tidak wajar serta menuruti raga adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan karena isi bumi itu angkasa yang hampa.

Yang disebut Kodrat itu ialah yang paling berkuasa. Tiada yang mirip atau menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada, baik luar maupun dalam. Ia merupakan kesatuan yang beraneka ragam.

Iradat berarti kehendak yang tiada membicarakan, ilmu yang mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari panca indera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup. 

Adanya ruh itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itu pun ditetapkan oleh diri sendiri. Tiada mengenal ruh yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit atau pun lelah. Suka duka pun musnah karena tiada keinginan hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri menurut kehendak”

Syekh Siti Jenar ternyata orang yang tajam penglihatannya. Ia mempunyai pandangan yang terang dan tepat, manusia yang melebihi sesamanya. Oleh karena itu dirinya mengaku Pangeran.

Ia bepikir “Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah, pribadi sendiri yang akan menerima dengan segala keberaniannya yang dimiliki. Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia.

Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya dalam diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalamnya bumi sampai lapisan ke tujuh, kau tak akan menemukan Wujud yang Mulia”.

Syekh Siti Jenar juga berpendapat, “Ke mana saja, sunyi senyap adanya. Ke utara, selatan, barat, timur dan tengah yang ada di sana sama dengan yang di sini. Yang ada di sini bukan wujud saja. Yang ada di dalam ku adalah wujud yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah yang lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.

Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas, bukan kekosongan dan kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi mayat, busuk bercampur tanah dan debu.

Nafsuku mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara lalu kembali ke tempat asalnya sebab semuanya barang baru, bukan asli. Maka saya ini dzat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalal dan Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Indah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak mau pula mau memerintahkan shalat kepada siapapun.

Adapun orang yang shalat itu budi yang menyuruhnya, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti karena perintahnya berubah-rubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur. Jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.

Waktu saya shalat, budi saya mencuri. Waktu dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang. Kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain halnya dengan Dzat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan dibayangkan.

Syahadat, shalat dan puasa itu adalah sesuatu yang diinginkan. Jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji, itu semua omong kosong. Itu semua adalah kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia.

Orang-orang dungu menuruti auliya karena diberi harapan surga kelak. Sesungguhnya keduanya itu adalah orang-orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan Syekh Siti Jenar, saya tidak pernah menuruti perintah budi, sujud di masjid, pakai jubah, pahalanya besok saja bila dahi sudah menjadi tebal, kepalan sudah berbelulang. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal.

Di dunia ini manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka dan duka, menderita sakit dan nestapa. Tidak ada bedanya dengan yang lainnya. Oleh karena itu saya Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Dzat Maulana. 

Dialah yang Luhur dan sangat sakti, yang berkuasa, Maha Besar. Lagi pula Ia memiliki dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah yang Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu. Dialah yang Maha Manusia Mulia, Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, rupa warna-Nya sempurna tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Didalam raga manusia ia tampak. 

Ia sangat sangat sakti menguasai segala yang terjadi dan menjelajah seluruh alam semesta, Ngindraloka”.

Itulah yang disebut Syekh Siti Jenar sebagai Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-Nya. tekad lahirnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yang ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yang kotor hingga sampai menemui ajalnya. Tidak menyembah kecuali pada budi dan setia.

Syekh Siti Jenar berpendapat dan menganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga bahwa hidup bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera, yang merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh Empunya akan menjadi tanah dan membusuk. Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman.

Demikian pula dengan budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran. Semua itu berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. 

Akal menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pada siang malam mengajak dengki pada sesama manusia demi kebahagiaan diri pribadi, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. 

Dengki dapat menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah demikian jauhnya, baru orang menyesali perbuatannya.

Lain halnya dengan Dzat Wajibul Maulana, yang menjadi pemimpin budi untuk menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanakan dengan tepat, apalagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan Dzat Wajibul Maulana dengan budi, agar manusia dapat menerima keinginan yang lain.

Syekh Siti Jenar mengetahui benar, dimana kemusnahan antayamulya, yaitu Dzat yang melanggengkan budi, berdasarkan dalil, ramaitu (maksudnya firman Allah, ‘maa ramaita idzramaa walakin ramaitu’ yang artinya ‘bukan kau yang melempar tapi Aku lah yang melempar’), ialah dalil yang dapat memutuskan beraneka ragam selubung yaitu dapat lepas bagaikan anak panah, tidak dapat diketahui dimana busurnya. Syareat, Tarekat, Hakikat dan Ma’rifat musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana yang sejati.

Syekh Siti Jenar berkata “Sesungguhnya lafal Allah, yaitu kesaksian terhadap Allah yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadnya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung.

Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan suatu janji. Nama itu tumbuh menjadi kalimat yang diucapkan ‘Muhammad Rasulullah’. Padahal sifat kafir berwatak jisim yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.

Lain, jika sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. 

Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat Wahdaniyat artinya menyatukan Diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan. Bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari mana pun. Bukan pula kehendak tujuan. Dia itulah yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah-payah Kodrat dan Iradat-Nya. Pergi ke mana saja, tiada haus, tiada lelah, tanpa penderitaan dan tiada lapar.

Kekuasaan dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan sehingga pikiran bebas dan keinginan luluh tiada berdaya. Selanjutnya, timbullah dari jiwa raga saya kearifan dan kebijaksanaan tanpa saya ketahui keluar masuknya, tahu-tahu saya menjumpai, ia sudah ada di sana.

Di dunia ini manusia mati. Siang malam manusia berpikir dalam alam kematian, mengharap-harapkan permulaan hidupnya. Ini mengherankan sekali. Tetapi sesungguhnya manusia di dunia ini dalam alam kematian sebab di dunia ini banyak neraka yang dialami. Kesengsaraan, panas, dingin, kebingungan, kerisauan dan kesedihan ada dalam alam kematian di dunia ini.

Lain halnya dengan kehidupan manusia dalam alam nyata. Dalam alam ini manusia hidup mulia, mandiri diri pribadi, tiada memerlukan lantaran ayah dan ibu. 

Ia berbuat menurut keinginan sendiri, tidak berasal dari angin, air, tanah, api dan semua yang serba jasad. 

Ia tidak menginginkan apa pun dan tidak mengharapkan apa pun, maka apa yang disebut Allah itu adalah barang baru, direka-reka menurut pikiran dan perbuatan yang curang. Itu adalah kedurjanaan agama.

Saya merindukan hidup saya yang dulu, tatkala saya masih suci. Tidak kenal ruh, tiada kenal tempat, tiada tahu hitam, merah, kuning, putih. 

Kapan saya kembali ke kehidupan saya yang dulu? Kelahiran di dunia alam kematian demikian susah payahnya, karena saya memiliki hati sebagai orang yang mengandung sifat baru. Keinginan baru berupa kodrat, iradat, samak, bashar dan ngaliman betul-betul terasa berat di dunia alam kematian ini. 

Pancapranawa kudus, yakni lima penerangan suci, semuanya adalah sifat saya, baik yang ada di dalam maupun yang di luar. Tidak ada yang saya bawa kembali untuk keperluan hidupku di sana, sebab semuanya berwujud najis, kotor dan akan menjadi racun.

Ada beraneka ragam yang tersebar di alam kematian ini. Di dunia kematian ini, menusia terikat oleh panca indera, menggunakan keinginan hidup yang dua puluh sifatnya, sehingga saya hampir tergila-gila dalam alam kematian. 

Berjuta-juta menyesatkan. Surga dan neraka, semuanya itu dapat menjadi rusak karena berupa bangkai, kotor dan bau amis. Busuk sesuai dengan Al-Quran, ‘wa ama’alamu jawatuni’, artinya yang terbesar dari alam ini semua berupa mayat.

Nah, makna tersebut sesuai benar dengan kenyataan. Mayat-mayat berkeliaran di mana-mana, ke utara dan ke timur mencari rejeki, mencari pangan dan sandang yang bagus-bagus, permata dan perhiasan yang berkilauan, tanpa mengetahui bahwa mereka hanyalah mayat-mayat belaka. 

Yang naik kereta, dokar itu juga mayat meskipun seringkali ia berwatak keji terhadap sesamanya.

Orang yang dihadapi oleh hamba sahayanya, duduk di kursi, kaya raya, mempunyai tanah dan rumah yang dihias bagus, merasa sangat senang dan bangga. Apakah ia tidak tahu bahwa semua benda yang terdapat di dunia ini akan musnah menjadi tanah? Meskipun demikian ia sombong dan congkak. Oh, kasihan aku melihatnya. Ia tahu akan sifat dan citra dirinya sebagai mayat. Ia merasa dirinya yang paling cukup dan pandai.

Demikian pandangan Syekh Siti Jenar tentang hidup sejati dan alam dunia yang dipandangnya sebagai alam kematian. Hidup ini dipandangnya sebagai mati yang singgah dalam raganya. 

Ia berpikir bahwa ia tersesat di dunia ini. Neraka dahsyat, jasad yang mengandung panca indera, melihat dunia terbentang, matahari menyusup di langit, melihat dunia yang indah dan damai serta harta kekayaan, dianggap sebagai godaan dalam kematiannya di dunia ini. Oleh karena itu, ia bertekad untuk mengakhiri kematiaannya di dunia ini untuk menempuh hidup yang abadi.

Syekh Siti Jenar juga berkata di hadapan utusan Demak yang menyuruhnya menghadap Sultan, ”Dalam diriku itulah ada Hyang Agung, sekarang dapat dikatakan hamba dan Khaliknya, karena sekarang ini saya dalam alam kematian. Besok bila saya sudah hidup pribadi, tiada Khalik dan hamba lagi, yang hidup hanya saya sendiri, langgeng tiada kenal mati dan putus asa. Hanya nikmat yang ada di tempat suci, kekal dan abadi.

Itulah sebabnya saya menderita susah dan sedih dalam alam kematian, dekat dengan sorga dan neraka serta banyak kesalahan dalam jaman kematian, yaitu di dunia ini. Tiada tahan saya di sini dalam alam kematian, ingin kembali ke alam kehidupan, yang di alam itu saya tiada punya luar ataupun dalam. Di dunia ini saya bermadu, di luar adalah kalbu saya dan di dalam adalah Khalikku. Menderita sakit dan sehat dalam kematian ini”.

“Wahai Paman Bayat!” katanya pada Sunan Tembayat, murid Sunan Kalijaga, ”Kalau kamu tidak mengerti apa yang saya katakan tadi, kamu tetap tersesat di dunia ini. Tentu saja kamu senang dalam alam kematian ini. Di sini berbagai kesenangan serba ada. Panca inderamu melihat tontonan, telingamu mendengarkan angklung, dalam hatimu mengetahui gending bribil.

Meskipun kamu seorang ulama, hanya kethuk kenong yang kamu tahu. Pagi sore menyucikan mulut muka, pulang balik pergi ke tempat air untuk memperindah raga, padahal sesungguhnya budimu kotor. Kamu menipu dan menyesatkan umat. Pagi dan sore kamu bersujud-sujud agar kamu mendapat ganjaran besok, berupa surga yang didalamnya terdapat serba emas yang indah.

Orang sampai tergila-gila pada ujaran palsu ini. Jika terlambat sembahyang, ia menjadi gugup. Sedemikian jauh ia disesatkan dan dibujuk oleh iblis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya waktu dzikir.

Tidak tahukah kamu bahwa ragamu berwujud daging, otot, tulang serta sumsum yang tidak luput dari kerusakan? Bagaimana kamu dapat memperbaikinya? Sekalipun shalat seribu kali sehari akhirnya kamu akan mati. Ragamu yang kau perindah itu citra jenasah. Apakah wali pulang ke akhirat dapat membawa daging, Paman? Saya kira tidak. Nah, janganlah suka menganggap urusan sesamamu, memanggil Syekh Siti Jenar, orang yang bijaksana”.

Coba Paman Bayat, saya bertanya, “Apakah Paman pernah melihat yang Maha Suci? Saya kira Paman belum pernah melihat-Nya. Jangankan Rupa Hyang Widi, malaikat saja Paman belum pernah melihatnya, sekali pun malaikat yang paling jelek, Paman belum pernah melihatnya. 

Hanya kebingungan Paman saja yang berpikir, mencari Tuhan di mana-mana tidak ditemukan, dimana-mana tidak ada, di sini pun tidak ada, akhirnya budi yang Paman sembah sambil mengangan-angankan Pangeran“. 

“Ketahuilah Paman, saya berpegang pada Mushaf (al-Quran). Dengarkan bunyi lafalnya, hayun daim layamuta abadan artinya hidup tidak kenal mati, langgeng untuk selamanya. Oleh karena itu dunia ini bukan alam kehidupan. Itulah sebabnya kamu itu mati, didunia ini kamu dalam alam kematian. Jadi, marilah dirasakan dan dipikirkan akan kebenaran pendapat saya ini, wal mayatu fil’alamul kubri yuzidu khalibu artinya orang yang dalam kubur memperoleh raga, oleh karena itu ia menerima neraka dan sorga. Ketahuilah Paman, itulah keadaan dunia sekarang ini sebagai alam kubur”.

Sementara itu, salah satu murid Syekh Siti Jenar yang lain bernama Ki Canthulo mewakili gurunya berkata, ”Dunia ini alam kematian. 

Oleh karena itu dunia ini sunyi, tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Tetapi bila besok sudah ada dalam alam kehidupan, saya akan berjumpa dan kadang kala saya menjadi Allah. 

Nah, di situ lah saya akan sembahyang. Jika saya sekarang disuruh shalat di masjid, saya tidak mau meski saya bukan orang kafir. Boleh jadi saya adalah orang yang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri gundul, tidak tahu yang di sini dan di sana. Ia berpegangan pada kandilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli. 

Lain halnya dengan saya, murid Syekh Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujaran para wali yang mengukuhkan syariat palsu yang merugikan diri sendiri”.

Selanjutnya Ki Bisono, murid Syekh Siti Jenar yang lain menjawab pertanyaan Sunan Kalijaga yang disampaikan muridnya, Sunan Tembayat. 

Ki Bisono berkata, ”Pertanyaan bahwa Allah menciptakan alam semesta itu, itu adalah kebohongan belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedangkan Allah tidak membuat barang baru yang berwujud, sebagaimana dalil ‘tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud.’ Adapun terjadinya alam semesta ini ibaratnya ‘menemukan keadaan.’ Alam semesta ini tiada berawal.

Adapun pertanyaan kedua, di mana rumah Hyang Widi, hal itu bukanlah merupakan hal yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua dzat. Dzat Wajibul Wujud itulah tempat tinggalnya. Seumpama dzat, tanahlah rumahnya.

Adapun pertanyaan, berkurangnya nyawa siang dan malam sampai habis, ke manakah perginya nyawa itu? Nah, itu sangat mudah dijawab. Nyawa tidak dapat berkurang. Jika nyawa dapat berkurang maka nyawanya itu bagaikan jasad, berupa gundukan tanah, dapat aus, rusak, dimakan anai-anai.

Adapun pertanyaan keempat, bagaimanakah rupa yang Maha Suci itu? Kitab Ulumudin sudah menjelaskan, bahwa lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi dan batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi.”

Demikianlah ajaran Syekh Siti Jenar tentang Dzat Tuhan. Dalam Dzat itulah ada kehidupan sejati, maka selainnya adalah mati. Termasuk kehidupan di alam dunia yang dianggapnya sebagai alam kematian. (Selanjutnya - Jalan Mencapai Hidup Sejati Secara Tanazul (Menurun))

Load comments