Khazanah kepustakaan Jawa kaya dengan karangan-karangan tentang filsafat mistik yang lazim disebut suluk. Pada umumnya suluk disampaikan melalui kisah perumpamaan atau alegori, dan ditulis dalam bentuk puisi atau tembang macapat gaya Mataram (Koentjaraningrat 1984:316), tetapi tidak jarang ditulis dalam bentuk gancaran atau prosa (Edi Sedyawati 2001:300). Sebagai alegori, suluk-suluk itu kaya dengan ungkapan-ungkapan simbolik dan simbol atau image-image simbolik. Karena itu untuk memahaminya diperlukan metode penafsiran atau pemahaman yang sesuai.
Kisah Dewa Ruci adalah salah suluk yang popular di Jawa dan sering dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri (PigeAUD 1967:83-7; Behrend 1990:499-544). Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya.
Versi yang terkenal gubahan Raden Ngabehi Yasadipura I, pujangga Surakarta yang hidup pada masa pemerintahan Pakububuwana II (1726-1749 M) dan Pakubuwana III (1749-1788 M). Ketika karangannya itu ditulis kraton Surakarta baru saja pulih dari krisis akibat pemberontakan internal, namun campur tangan VOC yang semakin jauh dalam politik di pusat kekuasaan Jawa membayangi gelapnya kehidupan social, ekonomi dan budaya. Ancaman disintegrasi sudah lama tampak. Ini diperparah lagi dengan ketegangan di pesisir sebagai akibat dari pertikaian teologis antara pembela ortodoksi Islam dan kaum heterodoks. Ketegangan ini berpengaruh dalam kehidupan politik dan keagamaan di pedaman, tempat pusat kekuasaan berad (Ricklefs 1993:203-12).
Krisis politik ini tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan kebudayaan. Masyarakat Jawa mulai merasakan kehilangan orientasi dan krisis identitas mulai tampak dalam pola hidup dan perkembangan kesenian. Untuk memulihkan kondisi budaya yang parah itu, sebuah gerakan semacam renaissance (kebangkitan kembali) budaya diperlukan. Ini mulai dirasakan pada zaman pemerintahan Pakubuwono II. Renaissance itu dimulai dengan menyadur dan menggubah kembali karya-karya Jawa Kuna, dan juga teks-teks Melayu Islam. Teks-teks Jawa Kuna dan Melayu Islam yang telah digubah kembali itu berperan penting sebagai landasan untuk merumuskan kembali filsafat hidup dan kebudayaan Jawa. Yasadipura I menulis suluknya dalam rangka renaissance kebudayaan dan kesusastraan Jawa (Pigeaud I 1967:160-171; Edi Sedyawati 2001:321). Dalam periode inilah sinthesa kebudayaan Jawa dan Islam, yang diwakili tasawuf atau sufisme, mendapat bentuknya yang definitif. Sinthesa itu tercermin sepenuhnya dalam kisah Dewa Ruci.
Karena itu tidak mengherankan jika suluk ini termasuk teks mistik Jawa yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana untuk diteliti dan dikaji. Di antara kajian yang pernah dilakukan dan dianggap penting ialah kajian Zoetmulder (1935), Poerbatjaraka (1940), Wediondiningrat (1940), Siswoharsojo (1953), Seno Sastromidjojo (1962), Anne Wind (1956), Johns (1957), dan Soebardi (1975). Selama tiga dasawrsa setelah kajian Soebardi, dapat dikatakan tidak ada kajian yang mendalam, bahkan hanya mengulang kajian terdahulu. Padahal masih banyak yang belum diteliti dari suluk ini, terutama yang berkenaan dengan tasawuf atau mistisisme Islam, yang merupakan aspek dan unsur penting dari suluk sinthesis ini. Dalam kajian yang telah disebutkan unsure ini hanya dibicarakan sambil lalu dan dianggap seakan hanya merupakan unsure atau aspek sampingan belaka.
Berdasarkan kenyataan inilah, penelitian ini ditumpukan pada unsur-unsur tasawuf yang terdapat dalam suluk ini. Khususnya pengaruh paham monisme dari ontologi atau filsafat wujud Ibn `Arabi yang disebut sebagai paham kesatuan transenden wujud (wahdat al-wujud). Unsur lain dalam DR yang berkaitan dengan tasawuf ialah uraian tentang hawa nafsu (nafs) dan hati (qalb) serta keadaan-keadaan yang dialaminya pada saat seseorang menempuh jalan mistik (suluk). Unsur ini termasuk ke dalam bidang psikologi sufi, yang terutama sekali dibahas oleh Imam al-Ghazali yang pemikiran tasawufnya sangat berpengaruh di Indonesia. Sebagaimana dalam alegori-alegori mistik yang lain, konsep-konsep tasawuf yang dibahas dalam teks itu dikemas dalam symbol-simbol lokal. Ini juga akan mendapat perhatian dalam penelitian ini.
Teks-teks yang dijadikan sumber ialah teks-teks Serat Cabolek yang tidak jauh berbeda salinannya.
a. Teks dalam naskah Perpustakaan Museum Leiden, nomor Cod. Or. 1795. Didaftar dalam katalog Vreede CCXXVII (Vol. II, hal. 314 – 5). Tembang macapat yang digunakan dalam awal suluk ialah Dandanggula.
b. Teks Serat Cebolek cetakan Van Dorp, 1887. Dalam katalog Vreede (II, hal. 30) dikemukakan bahwa teks salinan dalam tulisan Latin ini disalin dari teks tulisan Jawa dan diterbitkan oleh penerbit yang sama dengan edisi 1887, yaitu Van Dorp & Co, Semarang. Edisi ini dimulai dengan tembang Dandanggula seperti berikut, “Serat Cabolek, anyariosaken ing nalika keraton Kartasura, panjengenganipun Kanjeng Susuhunan Sumare Nglaweyan. Ing waktu mas Ketib Anem Kudus paben kaliyan Haji Ahmad Mutamakin dusun Cabolek bawah nagari Tuban, bab prakawis ngelmu Taukid…”.
c. Teks Serat Cabolek suntingan Soebardi (1975) dari beberapa naskah Koleksi Museum Nasional Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional Jakarta) yang juga diawali dengan tembang Dandanggula, berbunyi: “Wuryaning sarkara manulad sri, pinanduk ing reh angkara cipta, karti sampeka panjro jujur tyaas katelanjur. Pangajarin pakarti kontit, tan tatal tinatula, jataling kalbu, kombul Kabul ing istijrat…” (Soebardi 1975:66).
d. Syair-syair Hamzah Fansuri yang dijadikan bahan perbandingan dalam penelitian ini didasarkan atas teks dalam naskah Melayu abad ke-18 yang terdapat dalam koleksi Perpustakaan Museum Jakarta (MS Jak. Mal. No. 83). Transliterasinya lihat Abdul Hadi W. M. (2002:351-412).
Teori yang digunakan adalah perpaduan Teori Arketipal Jung dan Teori `Alam al-Mithal Ibn `Arabi. Menurut Jung, sejak dulu hingga kini manusia terdiri dari tipe-tipe tertentu dan tipe-tipe itu terbentuk disebabkan pengalaman bersama di masa lampau. Tipe-tipe itu muncul dari sumbernya yang disebut collective consciousness atau ketaksadaran bersama (Jung 1957:100-123); Steven 1982; Budi Darma 2004:46-9). Ia hadir dalam sastra dalam bentuk archetypal images, termasuk di dalamnya image-image simbolik, mitos dan motif-motif tertentu dalam cerita (Jung 1957:112; Jacobi 1968). Di antaranya berupa bayangan, anima, animus, orang bijak, ibu agung, pahlawan, ayah, anak, dan diri (self).
Tetapi Jung tidak menjelaskan bagaimana proses hadirnya image-image purbani itu dalam sastra. Ibn `Arabi menjelaskan bahwa proses itu terjadi karena pengarang menggunakan imaginasi kreatif dalam melahirkan karangannya. Imaginasi kreatif mengolah pengalaman dan gagasan-gagasan keruhanian pengarang, dan memberinya wadah berupa image-image purbani yang besifat simbolik. Image-image itu tampaknya diambil dunia empiris, tetapi sebenarnya berasal dari alam imaginal (`alam al-mithal) yang berada jauh di lubuk jiwa pengarang. Karya sastra dilihat sebagai representasi alam imaginal yang pembacaannya bisa utuh bilamana kita memahami makna batin yang dikandung simbol-simbolnya. Simbol-imbol itu lebih jauh berfungsi sebagai penghubung pengetahuan empiris dengan pengalaman intuitif mistikal (Corbin 1977:188).
Metode yang digunakan adalah gabungan Gadamer dan hermeneutika sufi (ta’wil). Keduanya saling melengkapi dan relevan dalam meneliti karya-karya bercorak mistikal dan simbolik. Dalam metode hermeneutika karya sastra dipandang sebagai wacana simbolik karena unsur fiksionalitas dan perumpamaan (metaphor) yang ada di dalamnya sangat menonjol. Dalam metode ini teks dikaji sebagai bentuk ‘pelambangan’ atas sesuatu yang lain (Corbin 1981:13 – 19). Sesuatu yang lain itu memiliki ‘cakrawala’ yang luas dibandingkan dengan cakrawala harafiah teks.
Menurut Gadamer ada empat cakrawala tersembunyi dalam suatu teks filsafat atau sastra. Empat cakrawala itu ialah (1) Bildung atau pandangan keruhanian yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya pandangan hidup (way of life), system nilai Weltanschauung; (2) Sensus communis, yaitu pertimbangan praktis, yang dalam sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan dengan mempertimbangkan perasaan komunitas di mana pengarang hidup; (3) Judgment atau pertimbangan, berhubungan dengan apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan baik buruknya; (4)Taste atau selera, cara-cara menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera masyarakat sezaman (Salleh Yaapar 2002:70-80; Sumaryono 1993:78-9).
Dalam hermeneutika sufi, bildung dihubungkan dengan ontologi (falsafah wujud) dan psikologi sufi. Dalam ontology sufi, alam semesta terdiri dari empat tatanan wujud, secara berturut-turut dari atas ke bawah ialah alam ketuhanan (alam lahut), alam keruhanian (alam jabarut), alam kejiwaan (alam malakut), dan alam jasmani (alam nasut). Simbol perjalanan dalam sebuah karya mistikal seperti Dewa Ruci adalah perjalanan mendaki dari tatanan wujud terdendah menuju tatanan wujud tertinggi. Dalam wilayah pengalaman tentang wujud tertinggi itulah makna sebenarnya sebuah karya harus dicari (Salleh Yaapar 2002:81-94)
Kisah Dewa Ruci
Kisah Dewa Ruci mulai digubah pada abad ke-18 M berdasarkan teks abad ke-16 M Serat Syekh Malaya karangan Sunan Kalijaga. Ada dua versi dari teks abad ke-16 ini. Versi I menceritakan pertemuan Iskandar Zulkarnanin dengan Nabi Khaidir di sebuah pantai. Iskandar disuruh menyelam ke dalam lautan untuk mencari air hayat (ma` al-hayat) agar bisa hidup kekal. Versi II, peran Iskandar diganti oleh Syekh Malaya alias Sunan Kalijaga (Abdul Hadi W. M. 2002:322). Dalam Serat Dewa Ruci peran Syekh Malaya diganti oleh Bima, sedangkan Nabi Khaidir oleh Dewa Ruci.
Cerita dimulai dengan peristiwa pertemuan Bima dan Drona menjelang perang Kurawa Pandawa meletus. Drona memerintahkan Bima mencari air hayat di puncak gunung Candradimuka agar bisa hidup kekal dan berjaya di medan perang. Setelah gagal menjumpai di puncak gunung, Bima disuruh mencarinya di dalam lautan. Dalam Serat Cabolek, bagian awal kisah tidak diceritakan. Kisah langsung dimulai dengan penyelaman Bima ke dalam lautan untuk mencari air hayat, suatu episode yang memang paling penting dalam kerangka suluk Dewa Ruci. Sinopsis ceritanya yang lengkap ialah sebagai berikut: Menjelang meletusnya perang Kurawa dan Pandawa (Bharatayudha) Drona memanggil muridnya Bima, putra kedua Pandu (Pandawa). Drona yang memihak Kurawa, mempunyai rencana jitu. Agar Bima yang sakti tidak ikut dalam perang Pandawa melawan Kurawa, ia harus disingkirkan. Drona menyuruhnya mencari air hayat ke puncak gunung Candradimuka.
Sebagai murid yang patuh Bima menjalankan perintah gurunya. Drona gembira, karena yakin Bima akan mampus diterkam binatang buas dan raksasa. Tetapi di luar dugaan Bima dapat mengalahkan dua raksasa sakti dan ganas yang dijumpai di hutan dan merintangi perjalanannya. Namun alangkah kecewanya, setibanya di kawah Candradimuka putra Pandu dia tidak menemukan air hayat seperti dituturkan gurunya. Bima kembali menemui Drona. Drona mengeluarkan lagi tipu dayanya. Dia menyuruh Bima mengarungi samudra, karena air hayat itu terdapat di sana. Dengan tegap Bima pun berjalan menuju menuju laut, lantas berenang dan menyelam.
Di dalam lautan dia berjumpa ular naga besar dan ganas menghalangi perjalanannya. Melalui pertarungan yang dahsyat, Bima dapat mengalahkan ular naga itu. Kemudian dia berjumpa dengan Dewa Ruci, manusia bertubuh kecil, yang rupanya mirip dengan dirinya, bermain-main seperti boneka bergerak-gerak. Bima mendapat pelajaran bahwa air hayat itu tidak lain ialah persatuan mistis dengan Yang Maha Tunggal (manunggaling kawula Gusti). Cara mencapainya dengan menjalani disiplin keruhanian yang keras, termasuk menundukkan hawa nafsu dan menyuci dirinya. Bila itu dicapai ia akan mendapatkan hidup yang kekal di dalam Yang Maha Esa (baqa’). Dalam teks Serat Cabolek pencapaian ruhani (maqam) ini disebut “Weruh sangkan paraning dumadi” (mengetahui asal-usul dan tujuan segala kejadian).
Dalam Serat Cabolek episode ini dituturkan oleh Ketib Anom di hadapan peserta musyawarah di kraton Kartasura, yang diadakan untuk mengadili Haji Mutamakin, seorang pembangkang dan penganut paham heterodoks seperti Syeh Siti Jenar. Dalam bagian inilah uraian tentang filsafat mistik Jawa diuraikan Episode ini dimulai pada pupuh VIII: 12:
Lajeng kinen nutugake
Inggih pamahosipun
Mardikani Serat Bima Suci
Puniki kan pinurwa
Ing nalikanipun
Bima kinonumanjina
Nengih maring talingane Dewa Ruci
Sinawung ing sarkara
(Lantas dia — Ketib Anom – meminta/Agar diperkenankan melanjutkan pembicaraan/Dan uraian tentang Serat Bima Suci/Dan mulai dengan kisah/Ketika Bima dititah/Masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci)
Wuwusira Dewa Suksma Ruci:
Payo Wrekudara dipun-enggal
Manjinga garbengnyong kene!”
Wrekudara gumuyu
Pun angguguk turira aris:
“Dene paduka bajang
kawula geng luhur
inggih panyawak parbata
Saking pundi margina kawula manjing
Jentik mangsa sedena’
(Pupuh VIII: 14)
(Kata Dewa Ruci “Ayo Werkudara, cepat/Masuk ke dalam perutku!/Werkudara tertawa/Lantas bertanya perlahan,/“Tubuh paduka kecil,/Sedang saya tinggi besar/ Seperti gunung/Dari mana saya harus masuk, /Sedangkan jari saya saja sukar masuk!”)
Angandika malih Dewa Ruci:
“Gede endi sira lawan jagad
kabeh iki saisine
kalawan gunungipun
samodrane alase sami
tan sesak lumebuwa
guwa garbaningsun”
Wrekudara duk miyarsa
Esmu ajrih kumel sandika turneki:
Mengleng sang Ruci Dewa:
(Pupuh VIII:15)
(Dewa Ruci berkata lagi,/Mana yang lebih luas, kau atau alam raya?/Seluruh jagat seisinya/Dengan semua gunung/Lautan dan rimba rayanya/Semua dapat masuk tanpa kesulitan/Ke dalam tubuhku!”/Mendengar itu Werkudara merasa putus asa”.
Dewa Ruci lantas menyuruh Bima masuk melalui telinga. Sesampainya dalam perut Dewa Ruci ia menyaksikan lautan luas tak terhingga bentangan ufuknya. Dia merasa berjalan di awing-awang, dalam ruang kosong yang tidak terhingga luasnya. Sesudah itu tiba-tiba telah berada di hadapan Dewa Ruci. Kembarannya itu tampak berkilauan. Hatinya merasa tentram. Setelah itu Bima diminta agar memusatkan perhatian ke arah depan. Ia lantas menyaksikan empat warna, tetapi dengan cepat lenyap dari pandangan. Empat warna itu ialah hitam, merah, kuning, putih. Tiga yang pertama merupakan bagian dari badan jasmani dan penyebab rusaknya kalbu atau hati. Yang satu lagi (putih) mendatangkan kebaikan. Agar mencapai persatuan dengan Yang Gaib, seseorang harus membebaskan diri dari yang tiga. Sebab ketiganya merintangi pikiran dan kemauan orang yang ingin fana’ atau hapus dalam Suksma Sejati (Pupuh VIII:16-20)
Dalam pupuh VIII:27-28 dikemukakan bahwa hati yang bersih yang dapat membuat orang memperoleh hidayah. Setelah warna yang empat lenyap, lantas muncul Cahaya Tunggal delapan warna. Werkudara bertanya: “Apa nama cahaya delapan warna ini/Merupakan hakekat sejati?/ Tampak seolah permata gemerlapan/ Kadang seperti bayangan, mempesona/Kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud”. Dewa Ruci menjawab: “Inilah intipati kesatuan/Artinya segala hal yang ada di alam dunia/Ada pula dalam dirimu/Pun semua yang ada di alam dunia/Memiliki padanan dalam dirimu/Antara jagad besar/Dan jagad kecil tidak berbeda..//Seperti warna yang empat/Kepada dunia memberi hayat/ Jagad besar dan jagad kecil/ Setiap yang ada sama dalam keduanya/Jika rupa di alam dunia/Ini lenyap seisinya/Maka semua wujud akan tiada/Dan menyatu dalam wujud tunggal/Tiada lelaki atau wanita” (Pupuh VIII:29)
Bima bertanya kepada Dewa Ruci, apakah yang tampak itu merupakan dhat hakiki yang dicarinya selama ini? (Punapa inggih punika/warnaning dhat kan pinrih dipun ulati/kang sayektining rupa?). Dewa Ruci menjawab, bukan itu yang harus dicari. Intipati dari semua ini tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dijumpai di mana-mana, kecuali dalam hati dan jiwa manusia. Apa yang tampak di alam dunia dan kehidupan manusia itu hanyalah isyarat, tanda-tanda atau ayat-ayat-Nya, yang memberi petunjuk kehadiran Yang Maha Gaib dalam kehidupan (Pupuh VIII:31-2)
Sang Guru kemudian menerangkan tentang cahaya gemerlapan yang disebut pramana. Pramana adalah pemberi hidup kepada tubuh jasmani. Jika ia meninggalkan badan, maka badan tidak berdaya lagi. Pramana memperoleh hidup dari Sang Suksma atau Ruh Tertinggi, yaitu Dia Yang Maha Hidup dan pemberi hidup. Kemudian Dewa Ruci menjelaskan bahwa pramana merupakan tajalli (pancaran) dari Yang Satu. Ia tidak menyerupai apa pun dan sukar digambarkan. Pada awalnya pramana itu satu dengan Sang Pencipta, tetapi setelah diberi rupa cahaya maka ia menjadi terpisah dari asal-usulnya Pupuh VIII:33-36)
Mendengar hal itu Bima semakin ingin mengetahui rahasianya. Ia malahan berkeinginan tinggal di tempat sunyi itu selamanya. Tetapi Dewa Ruci tak mengizinkan. Bima harus menjalani kehidupan di dunia karena tugasnya belum selesai sebagai seorang kesatria. Sebagai gantinya Dewa Ruci memberi pelajaran tentang rahasia Yang Hakiki, dan cara mencapai persatuan dengan-Nya.
Setelah kita mengetahui isi cerita Dewa Ruci, kita akan mengerti mengapa para sarjana sependapat mengatakan bahwa suluk ini merupakan lakon yang tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, dan dirinya. Tetapi juga membicarakan tujuan hidup manusia yang sebenarnya, dan cara mencapai tujuan itu. Tujuan yang ingin dicapai manusia Jawa ialah pamoring kawula gusti, karena Tuhan itu merupakan sangkan paraning dumadi. Dengan itu manusia itu akan mencapai kebahagiaan.
Jalan yang harus ditempuh ialah dengan menundukkan hawa nafsu (mujahadah) dan menyucikan diri (tadzkiya al-nafs). Pada akhir perjalanannya ia akan menyaksikan bahwa tiada yang maujud selain Tuhan. Penulis Serat Cabolek menggunakan ungkapan “Weruh sangkan paraning dumadi”, yang dapat dirujuk pada pendapat Imam al-Ghazali. Dalam Kimiya-i Sa`adah (Kimia Kebahagiaan) ia mengatakan bahwa tujuan hidup ialah untuk mengenal hakikat diri, sehinga dengan demikian seseorang dapat merealisasikan dirinya. Ghazali berpedoman pada sebuah hadis qudsi yang menyatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya”. Maksudnya barang siapa mengenal hakikat dirinya, ia akan mengenal asal-usulnya. Makna ungkapan ‘weruh sangkan paraning dumadi’ lebih kurang seperti itu.
Dalam suluk ini terdapat beberapa symbol konseptual atau image-image yang berfungsi sebagai simbol dari konsep-konsep filsafat mistik Jawa dan tasawuf. (1) Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima, namun tubuhnya lebih kecil); (2) Lautan tempat air hayat; (3) Air Hayat; (4) Sinar pancamaya, pencitraan tentang hati atau kalbu; (6) Empat warna, yang merepresentasikan empat hawa nafsu dalam jiwa badani manusia; (7) Cahaya tunggal yang disebut pramana.
Simbol-simbol ini secara berurutan berkaitan dengan psikologi, kosmologi, dan ontologi sufi. Juga dengan peringkat-peringkat keruhanian (maqam) dan keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk dalam upayanya mencapai Yang Satu. Image-image atau citraan-citraan itu selain purbani juga universal.
Analisis Simbol Laut dan Air Hayat
Pencitraan Dewa Ruci sebagai kembaran Bima memperlihatkan bahwa dalam psikologi sufi dan mistik Jawa dikenal dua jenis ‘diri’ (self), yaitu ‘diri jasmani’ yang direpresentasikan oleh Bima dan ‘diri ruhani’ (higher self) yang direpresentasikan oleh Dewa Ruci. Dalam tasawuf, ‘diri jasmani’ disebut nafs atau hawa nafsu. Karena menempati alam bawah (alam nasut) ia disebut lower self dalam bahasa Inggris. Perjalanan ruhani seorang penuntut ilmu suluk, dilukiskan oleh Rumi sebagai ‘perjalanan dari ‘diri’ ke Diri’, yaitu dari ‘diri palsu’ ke ‘Diri Hakiki’. (Happold 1981:58-61). ‘Diri ruhani’ disebut juga sebagai badan halus, tempatnya dalam tatanan wujud ialah di alam keruhanian (alam jabarut). Sedangkan ‘diri jasmani’ disebut badan kasar.
Perjalanan mencapai ‘diri ruhani’ hanya bisa dilakukan oleh Bima dengan menyelam ke dalam lautan untuk mendapatkan air hayat. Dalam wacana sastra sufi, khususnya dalam filsafat mistik Ibn `Arabi, simbol lautan digunakan untuk menggambarkan ketakterhinggaan dan keluasan wujud Tuhan. Sastrawan sufi Melayu yang banyak menggunakan simbol ini ialah Hamzah Fansuri. Misalnya seperti dalam syairnya Bahr al-`Ulya atau Lautan Wujud Yang Maha Tinggi. Dalam syair itu Wujud Mutlak dikiaskan sebagai Bahr al-`ulya (Lautan Maha Tinggi). Ia merupakan asal-usul segala kejadian, sebab salah satu dari tujuh sifat-Nya yang utama ialah Maha Hidup (al-hayy) yang memberikan hidup kepada segala sesuatu. Sifatnya yang lain ialah maha memiliki ilmu (`ilm) dan karenanya Maha Tahu (`alim) (Abdul Hadi W. M. 2001:395). Tema serupa diuraikan dalam Dewa Ruci ketika Bima berjumpa Dewa Ruci, guru spiritualnya itu.
‘Air Hayat’ adalah simbol bawahan dari Lautan. Simbol ini dikenal di Nusantara sejak masuknya agama Islam bersama tasawufnya. Dalam teks-teks Jawa Kuna, yang mewakili teks-teks paling tua di Nusantara, pemakaian simbol seperti itu tidak dijumpai. Tamsil air hayat dalam sastra Nusantara dijumpai untuk pertama kali dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain yang teks Melayunya telah ditulis pada abad ke-15 M (Braginsky 1998); kemudian dalam teks Jawa dan Melayu abad ke-16 M seperti Serat Syekh Malaya Sunan Kalijaga dan Syair Tauhid dan Makrifat Hamzah Fansuri.
Kata ‘air hayat’ adalah terjemahan dari kata Arab ma` al-hayat. Simbol atau tamsil ini digunakan untuk menyebut pengetahuan mistikal (ma`rifa) yang mengantarkan seseorang mencapai persatuan mistis dengan Tuhan (pamoring kawula gusti). Dengan bekal pengetahuan itu seseorang akan fana`(luluh dalam sifat ketuhanan) dan baqa’ (kekal dalam Yang Maha Abadi). Judul risalah tasawuf Nuruddin al-Raniri, ulama Aceh abad ke-17 M, memakai kata-kata itu untuk menerangkan pentingnya ilmu haqiqat atau makrifat.
Dalam syair Hamzah Fansuri, makrifat ditamsilkan sebagai air hayat, sebab pengetahuan inilah yang dapat menghidupkan jiwa yang mati dan yang dengan itu menyebabkan seseorang mengenal kebenaran hakiki dan mencapai persatuan mistikal dengan Tuhannya. Dengan demikian ia merasakan hidup kekal (baqa) bersama Tuhan. Dalam syairnya Hamzah Fansuri antara lain menyatakan:
Aho segala yang berhati
Jangan lupa akan ma`al hayati
Barang siapa tahu akan laut yang jati
Dunia akhirat tiada akan mati
(IX:1 AH. 364)
Diisyaratkan dalam bait ini bahwa untuk mendapat ma` al-hayat atau air hayat (makrifat) seseorang harus menggunakan sarana yang terdapat dalam kalbu atau hati. Selanjutnya dikatakan bahwa lautan itu bernama ahad (lautan wujud yang esa) yang sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu. Salah satu sifat-Nya yang lain ialah jamal (maha indah). Keindahannya itu cahayanya terang. Kata Hamzah, “Jamal itulah cahayanya terang/ Pada kedua `alam adanya senang/ Barangsiapa sampai pada laut yang tenang/ Dunia akhirat terlalu menang” (IX:13 AH p.367). Pokok yang sama dibahas dalam Dewa Ruci (pupuh VIII).
Dikatakan juga bahwa kedua alam itu diliputi oleh Dzat-Nya sepanjang zaman, yaitu oleh sifat-sifat-Nya sebagai pemberi hayat, ilmu, maha berkehendak, dan lain sebagainya. Hamzah Fansuri menghubungkan simbol ‘air hayat’ dengan pengetahuan tentang ‘diri’, kehampiran manusia dengan Sang Pencipta, persatuan mistik dan cahaya-Nya yang maha indah. Untuk mendapat air hayat itu seorang penuntut ilmu suluk harus menyelam ke dalam lautan wujud alam semesta. Lukisan tentang lautan wujud dalam syair Hamzah Fansuri, tidak jauh berbeda dengan lukisan dalam Dewa Ruci. Kata Hamzah:
Laut itulah yang bernama sedia
Tempatnya gaib terlalu sunya
Sungguh pun Tuhan yang maha mulia
Hampir-Nya sangat kepada yang mengenal Dia
Adalah juga menarik bahwa persoalan ‘kesatuan transenden wujud’ yang dalam Dewa Ruci dan ditafsirkan sebagai ajaran ‘kebhinnekaan dalam keekaan’ dan serta dilambangkan sebagai ‘cahaya tunggal’ yang memiliki delapan warna dikaitkan hanya dengan pandangan Imam al-Ghazali (Soebardi 1975:50). Padahal yang membahas masalah ini sebenarnya adalah Ibn `Arabi dan para pengikutnya seperti Maghribi. Misalnya seperti terlihat dalam terjemahan Inggris dari sebuah syairnya:
Know that Named is one and the Names a hundred thousand
The being is one, but its aspects are a hundred thousand
…
Without His Being all the world is non-existent
Of His Being and Bounty the world is a sign
The world arises from diffusion of His Unversal Being
Whatever thou seest is from His Universal Bounty
(Browne III 1976:472)
Ketahuilah yang diberi Nama hanya satu, namun nama seratus ribu
Wujud itu satu, tetapi pancarannya seratus ribu
…
Tanpa Wujud-Nya seluruh alam tidak maujud
Dari Wujud dan Rahmah-Nya dunia menjadi sebuah ayat
Dunia memancar dari perpaduan Wujud-Nya yang Sejagat
Apa pun yang kau saksikan di alam semesta itu berasal dari Rahmat-Nya
Dalam Dewa Ruci, Cahaya Tunggal sang Wujud itu digambarkan memiliki delapan warna. Ungkapan ini dapat dirujuk ayat al-Qur’an (52:4) yang menyatakan bahwa `Arasy merupakan singgsana Tuhan yang dijaga oleh delapan malaikat.
Analisis Simbol Cahaya dan Kalbu
Pencitraan sinar warna-warni yang berkilau-kilauan, serta memberikan kekuatan hidup kepada kalbu, dapat dirujuk kepada psikologi Imam al-Ghazali. Khususnya dalam Ihya `Ulumuddin III, bab tentang keajaiban hati. Dalam kitabnya itu Imam al-Ghazali menyatakan bahwa dalam bentuk dan susunannya tubuh manusia itu mengandung empat campuran dan karenanya di dalamnya ada empat macam sifat, yaitu nafsu serigala (nafsu amarah), nafsu binatang (nafsu syahwat), nafsu setani (nafsu lawamah) dan nafsu malaikat (nafsu sufiyah) dan nafsu mutmainah (ketenangan) yang memancar dari sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia (Abdul Mudjieb 1986:39).
Ketika manusia dikuasai oleh nafsu amarah yang dilambangkan dengan warna hitam, ia akan melakukan perbuatan serigala seperti senang akan permusuhan, penuh kebencian dan sangat agresif kepada manusia lain. Ketika seseorang dikuasai oleh syahwatnya, yang dilambangkan dengan warna merah, ia akan melakukan perbuatan binatang seperti lahap, rakus, brutal dan senang melampiskan nafsu berahinya. Selanjutnya begitu urusan ketuhanan meresap ke dalam hawa nafsunya, maka ia akan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Ia mulai menyukai kekuasaan, keluhuran dan kebebasan, serta berkeinginan untuk menguasai dunia demi dirinya sendiri. Inilah nafsu setani yang dilambangkan dengan warna kuning. Nafsu sufiyah dan mutmainah dilambangkan dengan warna putih. Jika manusia dikuasai oleh sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah), kata Imam al-Ghazali, maka hidupnya akan dibimbing oleh ilmu, hikmah dan keyakinan dan mampu memahami hakikat segala sesuatu. Ia akan mengenal segala sesuatu dengan kekuatan ilmu dan mata hati. Akan memancar pula darinya sifat-sifat yang mulia seperti kesucian diri, suka menerima apa yang dianugerahkan kepadanya, tenang, zuhud, wara’, taqwa, selalu riang hatinya., gemar menolong, punya rasa malu dan rasa bersalah.
Hati orang yang telah diresapi sifat-sifat ketuhanan itulah, kata Imam al-Ghazali, dapat disebut sebagai cermin cerlang yang memancarkan cahaya berkilauan. Di sini Imam al-Ghazali mengutip sebuah hadis dari Abu Mansur al-Dailani, “Apabila Allah menghendaki hamba-Nya mencapai kebaikan, akan dijadikan kalbu baginya sebagai penasehat bagi dirinya.” Dewa Ruci sebagai guru dan penasehat Bima dalam Serat Cebolek, adalah representasi dari kalbu yang dijadikan penasehat bagi seseorang yang telah mampu menundukkan hawa nafsunya.
Penggunaan tamsil-tamsil berkenaan dengan cahaya, kekosongan dan lain dalam kisah Dewa Ruci ini juga dapat dirujuk pada hadis Nabi yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya `Ulumuddin. Di antara hadis Nabi yang dikemukakan itu ialah seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Thabrani, “Hati seorang mukmin itu kosong, di dalamnya ada lampu yang bersinar-sinar, sedangkan hati orang yang sesat itu hitam dan terbalik”.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Khudiri ialah seperti berikut, “Hati itu ada empat macam, yaitu: (1) Hati yang kosong atau bersih yang di dalamnya ada lampu yang bersinar, hati yang demikian itulah hati orang mukmin; (2) Hati yang hitam dan terbalik, hati yang demikian itulah hati orang yang ingkar; (3) Hati yang terbungkus dan terbelenggu oleh bungkusnya, hati yang demikian itulah hati orang munafik; dan (4) Hati yang bercampur aduk, di dalamnya ada iman dan nifaq”. Selanjutnya dijelaskan bahwa hati menjadi jernih dan penglihatan batin menjadi terang disebabkan sangat kepada Allah dan taqwa. Ingat akan Allah merupakan pintu kasyf (tersingkapnya hakikat segala sesuatu) dan kasyf itu merupakan pintu keberuntungsn, yaitu keberuntungan berjumpa dengan-Nya (Abdul Mudjieb 1986 46-8).
Dalam uraian selanjutnya, dengan merujuk kepada pendapat Imam al-Ghazali itu, Yasadipura I menulis bahwa hati yang bersih dan kosong itu saja yang dapat membawa seseorang mencapai hidayah (petunjuk) ilahi (pupuh VIII:15-18): “Jika kau berhasil mengatasi/Tiga bentuk nafsu ini/Persatuanmu akan sempurna/Kau tak perlu lagi pembimbing/Mencapai persatuan hamba dan Gusti (pamoring kawula Gusti)/Setelah Werkudara mendengar ini/Kerinduan hatinya membara/Berahinya (`isyq) kian berkobar/Hatinya dirasuki/Keinginan manunggal//Warna yang empat sirna pula dari pandangan /Tinggal cahaya tunggal delapan warna/Kata Werkudara:/“Apa nama cahaya delapan warna ini/Merupakan hakekat sejati?/Tampak seolah permata gemerlapan/Kadang seperti bayangan, mempesona/Kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud”.
Selanjutnya, “Dewa Ruci, Sang Nur seantero jagad/Lantas menjawab:/“Inilah intipati kesatuan/Artinya segala hal yang ada di alam dunia/Ada pula dalam dirimu/Pun semua yang ada di alam dunia/Memiliki padanan dalam dirimu/Antara jagat besar/Dan jagat kecil tidak berbeda/Ia adalah asal-usul utara, selatan, timur/Barat, zenith dan nadir//Seperti warna yang empat/Kepada dunia memberi hayat/Jagad besar dan jagad kecil/Setiap yang ada sama dalam keduanya/Jika rupa di alam dunia/Ini lenyap seisinya/Maka semua wujud akan tiada/Dan menyatu dalam wujud tunggal/Tiada lelaki atau wanita”.
Kemudian dijelaskan bahwa tahap awal yang harus ditempuh ahli suluk untuk mencapai “Pamoring Kawula Gusti” dan memahami makna “Sangkan Paraning Dumadi” secara mendalam ialah melalui pengendalian diri atau kecenderungan-kecenderungan buruk dari hawa nafsu.
Dalam ilmu tasawuf, tahapan awal ini disebut mujahadah, perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri. Mujahadah mencakup tiga hal: (1) Penyucian diri (thadkiya al-nafs); (2) Pemurnian hati (tashfiyat al-qalb); (3) Pengosongan jiwa terdalam (takhliyat al-sirr). Pengosongan jiwa terdalam atau sirr dilakukan dengan memusatkan diri kepada Yang Satu dan mengosongkan diri dari yang selain-Nya (Mir Valiuddin 1980:1-3).
Demikianlah setelah Bima menempuh tahap awal dari perjalanan keruhaniannya itu, ia berjumpa dengan Dewa Ruci yang digambarkan seperti mutiara dengan sinar warna-warni gemerlapan. Ia tidak lain adalah gambaran tentang hati terdalam manusia dan merupakan manifestasi (tajalli). kebesaran dan keindahan Tuhan. Dewa Ruci adalah lambang dari hakikat diri dan perjumpaan dengannya disebut musyahadah, penyaksian atas tanda-tanda dari kehadiran Yang Satu.
Uraian tentang hati dan lambang-lambangnya dalam suluk itu merujuk pada uraian Imam al-Ghazali tentang hati dalam Ihya `Ulumuddin III. Menurut Imam al-Ghazali, hati adalah substansi lembut yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah, dan mempunyai hubungan dengan hati jasmani – segumpal daging bulat panjang di dada kiri manusia. Substansi lembut ini merupakan hakikat manusia yang dapat memahami dan mengenal Tuhan, sebab ia memiliki ilmu untuk itu (Abdul Mujieb 1986:11-2).
Dikatakan pula bahwa hati mempunyai ilmu dan merupakan sasaran perintah dan larangan Tuhan. Ia mempunyai hubungan erat dengan mukasyafah (tersingkapnya penglihatan batin). Ruh manusia yang tidak tampak dan tidak dikenal dengan mata jasmani, hanya dapat diterangkan sebagai badan halus dan substansi halus. Ia memiliki ilmu untuk menangkap segala pengertian dan obyek-obyek. Badan halus bersumber dari rongga hati manusia, yang melalui perantaraan otot-otot dan urat-urat yang beraneka ragam tersebar ke seluruh tubuh. Ia memancarkan sinar kehidupan, menyebabkan munculnya perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman. Ia dapat diumpamakan sebagai berkas-berkas sinar memancar dari sebuah lampu yang tersebar ke seluruh sudut ruang dalam rumah.
Hidup ini, kata al-Ghazali, adalah laksana sinar yang tersebar di dinding-dinding rumah jasmani kita, sedangkan ruh merupakan lampunya. Perjalanan ruh dan geraknya dalam batin seseorang, seperti gerak lampu yang memancarkan sinar ke seluruh ruangan dalam rumah dan ada penggeraknya. Adapun yang kedua, yaitu substansi halus dalam diri manusia yang memiliki ilmu, merujuk kepada hati (Ibid 13-4).
Marilah kita bandingkan dengan uraian yang dikemukakan pengarang Serat Cabolek. Sinar gemerlapan yang disebut pramana dan memberikan kehidupan pada tubuh adalah manifestasi (tajalli) Hyang Suksma dalam diri manusia. Hyang Suksma adalah sumber kehidupan dalam arti sebenarnya. Pramana berada dalam tubuh manusia, tetapi tidak nampak dan tidak terpengaruh oleh suka dan duka, sedih dan bahagia, haus dan lapar. Ia merupakan individuasi dari hakikat ketuhanan (Soebardi 1975:50). .
Sangat menarik bahwa substansi halus yang memancarkan sinar gemerlapan itu disebut pramana. Dalam falsafah India, kata-kata pramana digunakan secara intensif oleh para filosof Nyaya dan Vaiseshika dan lazim diartikan sebagai metode, kaedah, pedoman atau cara-cara mencapai ilmu pengetahuan, bukan seseorang atau sesuatu yang memiliki metode atau ilmu. Istilah Sanskrit lain yang mirip dengan kata-kata pramana, ialah prana, yang lazim digunakan oleh para filosof Yoga seperti Patanjali untuk menyebut energi atau daya hidup dalam tubuh manusia yang memiliki sifat ilahiyah.
Sangat mungkin istilah pramana yang digunakan filosof Nyaya dan Vaishesika berubah arti di tangan para mistikus Jawa, atau sangat mungkin pula bahwa kata-kata itu memiliki kaitan dengan istilah prana. Atau mungkin pula para pengarang Jawa termasuk Yasadipura I sengaja menggabungkan pengertian dari dua istilah ini dalam upayanya menerjemahkan gagasan Imam al-Ghazali tentang kalbu sebagai substansi halus dalam tubuh yang bersifat ilahiyah dan memancarkan sinar gemerlapan.
Simbol pramana juga dapat dikaitkan dengan konsep Nur Muhammad dalam tasawuf, yang digambarkan sebagai cahaya berkilauan (Tanoyo 1979). Dalam Dewa Ruci substansi halus ini juga dilukiskan sebagai cahaya gemerlapan. Yasadipura I kemudian menghubungkan pula simbol cahaya ini dengan konsep mukasyifat, yaitu sang pemberi kehidupan. Arti mukasyifat ialah dia yang memberikan kasyf (penglihatan batin yang terang, illuminasi) yang tidak lain adalah Tuhan. Wakilnya dalam tubuh manusia ialah pramana, yang juga diartikan sebagai substansi yang memberi kehidupan pada tubuh.
Konsep Nur Muhmmad itu dikemukakan mula-mula pada abad ke-8 M oleh Ibn `Ishaq, penulis riwayat hidup Nabi paling awal. Berdasarkan hadis qudsi dikatakan bahwa sebelum alam semesta dicipta, yang dicipta lebih dahulu adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini dicipta dari nur-Nya (Ismail Hamid 1983:29-31; Ali Ahmad dan Si Hajar Che Man 1996:4-10). Tetapi yang pertama kali memperkenalkan symbol ini sebagai symbol konseptual sufi ialah Sahl al-Tustari (w. 896 M). Menurut Tustari, asal-usul Nur Muhammad sebagai esensi penciptaan ialah sekumpulan dzat yang berkilauan di dalam bentuk amud, dan amud ini kemudian berdiri di hadapan Tuhan setelah diciptakan. Pada permulaan kejadiannya itu Nur Muhammad berdiri tegak di hadapan Tuhan selama berjuta-juta tahun sebelum makhluq-makhluq lain dijadikan. Pada waktu alam semesta telah dicipta, kemudian Adam dijadikan dari segumpal tanah sebagai badan jasmaninya dan ke dalamnya dimasukkanlah ruh atau nur, yang disebut Nur Muhammad (Bowering 1979:125).
Konsep Nur Muhammad disempurnakan pada abad ke-12 oleh Ibn `Arabi.` Menurutnya Nur Muhammad adalah Cahaya pertama yang keluar dari Hijab Yang Gaib dan muncul dari pengetahuan (`ilm) menuju alam kewujudan yang nyata. Penjelasan yang lebih filosofis dijumpai dalam kitab Misykat al-Anwar (Misykat Cahaya-cahaya). Dengan menggunakan metode hermeneutika atau ta’wil, yaitu bentuk tafsir simbolik sufi, Ibn `Arabi berpendapat bahwa yang dimaksud ‘cahaya’ (nur) dalam al-Qur’an (ayat atau surat al-Nur) adalah esensi tunggal yang mendasari semua bentuk keberadaan atau wujud di alam semesta ini. Sedangkan kegelapan adalah ketiadaan atau ketakwujudan paling nyata. Jagat raya atau alam semesta dicipta dari kegelapan yang di atasnya Tuhan menaburkan Cahaya-Nya sendiri, dan membuat bagian-bagian dari cahaya itu berbeda sesuai peringkatnya.
Berkaitan dengan ini, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa mata jasmani kita hanya dapat melihat perwujudan lahir dari Cahaya Mutlak itu, sedangkan wujud ruhaninya tidak dapat dilihat. Untuk melihatnya diperlukan bantuan pengetahuan khusus, yaitu makrifat. Dengan makrifat maka penglihatan batin (basha`ir) seseorang akan tersingkap dan hijab yang selama ini merintanginya akan enyah. Pengetahuan khusus ini bersemayam dalam ‘kalbu’, sehingga dikatakan bahwa ‘dalam kalbu ada jendela untuk melihat Tuhan’ (Abdul Hadi W. M. 2001:56-8). Mengenai ini dalam syairnya Hamzah Fansuri menyatakan seperti berikut:
Unggas nuri asalnya cahaya
Diamnya da’im di Kursi Raja
Dari nur-nya lahir fakir dan kaya
Menjadi insan, tuan dan saya
Yang dimaksud ‘unggas nuri’ dalam syair tersebut ialah ruh manusia, dan asal-usul ruh ialah cahaya. Cahaya ciptaan yang tertinggi ialah Nur Muhammad. Dalam Hikayat Kejadian Nur Muhammad, cahaya terpuji yang disebut Nur Muhammad itu juga digambarkan sebagai ‘burung yang cahayanya berkilauan’. Kadang disebut burung pingai, burung nuri, dan unggas nuri. Selanjutnya dinyatakan oleh Hamzah Fansuri dalam syairnya itu bahwa keindahan burung itu memancar dari keindahan Tuhan. Bulunya adalah ‘akal semesta’ (`aql al-kulliy), kukunya ‘kalam kemuliaan’, gurunya Allah Ta`ala, kakinya jalal (kuasa) dan jamal (indah), jari-jarinya nur al-awwal (cahaya pertama), hatinya bernama Law al-mahfudz (lembaran terpelihara), dan setelah tersucikan kalbunya maka ia menjadi jawhar (substansi) dengan safi (suci)-nya.
Penggambaran tentang pramana dalam Dewa Ruci, tidak jauh berbeda dengan penggambaran Imam al-Ghazali dan Hamzah Fansuri. Ini menunjukkan eratnya hubungan teks-teks filsafat mistik Jawa dengan teks-teks filsafat mistik Islam.
Akhir Kalam bisa diambil beberapa kesimpulan seperti berikut: Pertama, bahwa empat cakrawala estetik yang melapisi kisah Dewa Ruci dalam Serat Cebolek mencerminkan pandangan hidup, system nilai dan Weltanschauung (gambaran dunia) orang Jawa terepresentasikan dengan baik dalam karya Yasadipura I ini. Pandangan hidup dan gambaran dunia itu didasarkan atas ajaran tasawuf Imam al-Ghazali berkenaan dengan etika dan psikologi sufi, Ibn `Arabi tentang falsafah wujud atau ontologi, yang disinthesakan dengan dasar-dasar mistisisme Jawa sebelum Islam. Inilah aspek bildung dari suluk ini.
Kedua, pemilihan tokoh Bima dan Dewa Ruci sebagai pelaku utama memperlihatkan sensibilitas pengarang dalam membuat pertimbangan praktis, yaitu dengan bertolak dari alasan-alasan kultural. Meskipun agama Islam diterima oleh orang Jawa, namun pada saat yang sama pengarang mengingatkan agar jati diri dan budaya Jawa lama jangan dibuang. Caranya dengan menghidupkannya seraya memberikan wadah terhadap ajaran agama yang baru dipeluk. Kecuali itu pengarang juga mengenal dengan baik kegemaran orang Jawa pada lakon wayang, sebagai pembentuk ketaksadaran dan kesadaran kolektif mereka.
Ketiga, aspek yang bertalian dengan pertimbangan praktis lain ialah penyampaian kisah Dewa Ruci dalam bingkai cerita sejarah, sedangkan kisah inti tentang perjalanan Bima diambil dari wiracarita atau cerita kepahlawanan (epos). Orang Jawa menyukai peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan feudal mereka, konflik-konflik internal yang terjadi. Di samping itu mereka menyukai mistik, dan cerita kepahlawanan. Penggabungan semua ini dalam Serat Cebolek memperlihatkan kepiawaian Yasadipura I.
Keempat, secara bersama-sama pula semua itu memperlihatkan pengarang Serat Cabolek tahu selera (taste) masyarakatnya. Ketahuannya yang lain diperlihatkan melalui usahanya untuk menyerasikan filsafat mistik Jawa dengan tasawuf Islam, dalam upaya meredakan ketegangan teologis yang mengancam keutuhan budaya Jawa.
Kelima, suatu hal yang tidak pernah dibahas secara mendalam ialah peranan teks-teks Melayu Islam dari Sumatra dalam ikut membentuk pandangan hidup dan etika Jawa yang berdasarkan Islam. Melalui teks-teks Melayu inilah kaum terpelajar Jawa mengenal filsafat mistik dan kebudayaan Islam. Kemiripan tematik karya Yasadipura I dan syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri memperlihatkan hubungan erat kebudayaan Jawa dengan Melayu pada dataran spiritualitas.
Keenam, teks Dewa Ruci sebagai teks sinthesis kebudayaan Jawa dan Islam ditulis bukan tanpa motif politik, apalagi dimasukkan menjadi bagian dari Serat Cabolek, sebuah suluk yang diawali dengan pemaparan perisiwa-peristiwa politik penting di lingkungan kraton Kartasura pada masa pemerintahan Amangkurat IV dan penggantinya Pakubuwana II. Khususnya peristiwa-peristiwa politik yang mau tidak mau melibatkan peranan para ulama pesisir dan pembangkangan para mistikus ortodoks. Bahwa kemudian ternyata kalangan istana digambarkan mampu mengakhiri pertentangan teologis antara dua pihak yang saling bertentangan itu, menunjukkan bahwa teks Dewa Ruci Yasadipura I ditulis bukannya tanpa motif politik tertentu.
Mengenai motif politik penulisan Serat Cabolek, yang di dalamnya kisah Dewa Ruci dijadikan sentral pembahasan, Simuh (1988:33) mengatakan bahwa perkembangan sastra Jawa sejak lama didukung terutama oleh golongan istana. Mereka menganggap politik mempunyai nilai yang lebih tinggi dari agama. Karena itu semua kegiatan sastra dan keagamaan selalu diarahkan untuk mendukung kepentingan politik penguasa. Penerapan masalah agama diselaraskan dengan kepentingan keagamaan. Tasawuf diutamakan karena ia lebih mudah dicerna dan disesuaikan dengan tradisi mistik Jawa. Sedangkan penyelarasan antara tasawuf dan mistisisme Jawa dilakukan untuk meredakan dan mendamaikan konflik antara pendukung syariah dan pemuka ajaran heterodoks, karena sumber-sumber pembangkangan dan krisis politik di Jawa tidak jarang bersumber dari dua kelompok ini.
Bibliografi
Abdul Hadi W. M. (2001). Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Ali Ahmad dan Siti Hajar Che Man (1985). Bunga Rampai Sastera Melayu Warisan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
al-Ghazali, Imam (1986). Rahasia Keajaiban Hati. Terjemahan Ihya `Ulumuddin III oleh M. Abdul Mujieb. Surabaya: Mahkota.
Behrend, T. E. (1990). Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara I. Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Berg, C. C. (928). Inleiding tot de Studie van het Oud-Javaansch. Surakarta: De Bliksem.
Budi Darma (2004). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Bowering, Berhard (1979). The Message of the Prophet. Islamabad: Governement of Pakistan.
Braginsky, V. I. (1995). Erti Keindahan dan Keindahan Erti Dalam Kesusasteraan Melayu Klasik. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
——————– (1998). Yang Indah, Yang Berfaedah dan Yang Kamal: Sastra Melayu Abad ke-7 – 17. Jakarta: INIS.
Browne, E. G. A. (1976). A Literary History of Persia. Vol. III. Cambridge: Cambridge University Press.
Happold, F. C. (1981). Mysticism: A Study and Anthology. Harmondsworth, Middlesex, Englan: Penguin Books.
Edi Sedyawati dkk (2001). Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka
Ismail Hamid (1982). Kesusasteraan Melayu Lama Dari Warisan Peradaban Islam. Petaling Jaya: Fajar Bakti Sdn Bhd.
Jacobi, J. (1962). The Psychology of Jung. London: Routledge & Kegan Paul.
Johns, A. H. (1967). “From Buddhism to Islam: An Interpretation of Javanese
Literature of Transition”. In Comparative Studies in Society and History. Vol. IX, No. 1, 1957 (243-53).
Jung, C. G. (1956). Two Essays on Analytical Psychology. New York: Meridian Books.
Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Md. Salleh Yaapar (2002). Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Mir Valiuddin (1980). Contemplative Discipline in Sufism. Ed. Gulshan Khakee.
London & The Hague: East-West Publications.
Pigeaud, Th. G. (1967). Literature of Java: Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of Univeristy of Leiden and Other Public Collections in the Netherlands. Vol. I. Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A. D. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R. M. (1940). “Dewa Roetji”. Djawa, 20ste, Jaargang, No. 1. (6-55)
————————— (1957) Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan.
Ricklefs, M. C. (1993). War, Culture and Economy in Java 1677-1726: Asian and Europeans Imperialism in the Eearly Kartasura Period. Sydney: Allen & Unwin.
Seno Sastroamidjojo ( (1962). Tjeritera Dewa Rutji dengan arti Filsafatnya. Jakarta: P. T. Kinta.
Schimmel, Annemarie (1983). And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety. Chapel Hill and London: The University of North Carolina Press.
Simuh (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Siswoharsojo, Ki ( (1953). Wedaran Serat Dewaroetji. Yogyakarta: 1953.
Soebardi, S. (1975). The Book of Cabolek. The Hague: Martinus Nijhoff.
Stevens, Anthony (1982). Archetype: A Natural History of th Self. London: Routledge and Kegan Paul.
Sumaryono E (1993). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Tanojo, R. (1979). Bima Suci. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Vreede A. C. (1892). Catalogus van de Javaansche en Madoeresche Handschriften der Leidsche Universiteits Bibliotheek. Leiden: KITLV.
Wediodiningrat, R. T. “Fragmenten uit het Boek Dewa Roetji”. Djawa 20, 2. 1940 (123-30).
Zoetmulder, P. J. (1935). Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek-Literatuur. Nijmegen.