2017-12-29

Cak Nun: Matematika Nan Suci

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Meskipun saya gagal kuliah dan lulus SMA hanya karena “supaya tidak merepotkan setahun lagi”, tapi sejak kecil saya sangat menikmati Pelajaran Islam yang paling mendasar, utama dan sangat kudus. Yakni Berhitung. Atau sekarang disebut Matematika. Hati saya selalu menyebutnya dengan lengkap: matematika nan suci.

Ilmu yang kudus dan suci. 6X6 = 36. Selalu konsisten dan istiqamah. 6X6 = 36 di siang maupun malam, di musim kemarau maupun penghujan, dalam keadaan aman maupun pas ada gempa besar dan gunung meletus. 6X6 = 36 ketika sehat maupun sakit, pas bokek atau punya duit, bahagia atau sengsara, bangun maupun tidur. 6X6 = 36 meskipun ditilang Polisi, ditembak Tentara, ditimpa Perppu, kena angket atau tidak. Kalau ada penghitungan suara 36 menjadi 72, yang salah adalah menipulatornya, sedangkan 6X6 = 36 tidak bisa diubah.

Nanti kalau ada gunung yang berabad-abad dianggap “mati” tiba-tiba batuk mengeluarkan asap, tetap 6X6 = 36. Kalau ada 18 titik dan area di sepanjang Kepulauan Nusantara merangkai jadi satuan kekuatan, 6X6 = 36. Mau disuap, di-nego, di-wani piro, digayusi atau dinovantoi, tetap saja 6X6 = 36. Kiamat akan datang, shughro maupun kubro, kecil maupun besar, parsial maupun total, 3 hari 3 malam atau 40 hari 40 malam atau berapa lama pun transmigrasi dari bumi ke alam Barzakh, tetap 6X6 = 36.

Sungguh 6X6 tidak mungkin tidak = 36 sepanjang saya hidup. Saya anggota Abu Sittin. Kiai Hasan Gontor kesayangan saya pernah dilaporkan ke Polisi karena berceramah di Abu Sittin. Mungkin Abu Sittin disangka koleganya Abu Jibril, Abu Jandal, Abu Sayyaf atau Abu Ridho. Sittin artinya enam puluhan. Abu Sittin adalah kumpulan alumni Gontor yang berusia di atas 60 tahun. Meskipun 2 Mei 1968 saya diusir dari Gontor, tapi Khilafah al-Ukhuwah Gontor membuat saya tetap diterima di komunitas Abu Sittin.

Allah tidak butuh matematika, tetapi Ia mempermudah manusia dengan perkenan ijtihad dan ilmu, yang antara lain merumuskan satuan angka, di mana 6X6 = 36. Sepanjang hidup saya menikmati kepatuhan 6X6 = 36. Dua tahun 1965-1966 saya hanya makan gaplèk alias bugik, tidak nasi, di samping banyak tarikat dan riyadlat lain yang saya lakukan di masa kanak-kanak. Supaya saya punya bekal mental untuk sampai mati nanti 6X6 = 36. Dan kesimpulan dari perjalanan panjang hidup saya adalah tidak ada kenikmatan melebihi selalu berterima kasih kepada Big Boss-nya 6X6 = 36. Saya memuaikan dan memperdalam terus cinta dan setia kepada Big Boss.

Pernah saya coba mem-Boss-kan diri saya sendiri, mematuhi kemauan saya sendiri, bahkan menyatakan “Allah yang harus berterima kasih kepada saya karena saya mau Ia ciptakan dan Ia jadikan manuusia”. Tapi lantas dicegat oleh “min haitsu la yahtasib”, oleh sesuatu yang tidak saya perhitungkan. Oleh peristiwa yang saya tidak memperhitungkannya. Bahkan memang tidak mungkin mampu memperhitungkannya. Termasuk urusan 2017 sekarang ini, yang sudah banyak ditinggalkan oleh para pemimpin, karena mereka sudah memijakkan kaki di 2019, 2025 maupun 2045.

Saya sangat menikmati Khilafah 6X6 = 36, sehingga saya tidak pernah mau menoleh ke kata dan kalimat aneh dan penuh rendah diri di muka bumi: misalnya “Negara Terbelakang”, “Negara Dunia Ketiga”, “Kita harus mengejar ketertinggalan dari bangsa lain”, “SDM kita rendah”, “Globalisasi”, “Barat dan Timur”, “Utara dan Selatan”, “Pembangunan dan Kemajuan” dlsb. Saya bisa paham kata-katanya, tapi tidak setuju muatannya. Saya tidak pernah membantah atau menabrak mereka, karena Khilafah mengajari saya “tasammuh” atau toleransi.

Saya menikmati dialektika Khilafah dalam skup individu atau selingkaran komunitas kecil, dengan “amr” dan “iradat” Big Boss. Kemudian ada yang bertanya kok hidup kalian tampak happy-happy dengan ribuan jutaan komunitasnya tiap hari. Kok hanya tidur 1-2 jam sehari. Kok pertemuan berlangsung 7-8 jam hingga pukul 3-4 pagi. Kok jadwalnya lompat sana lompat sini seperti menyeterika Pulau Jawa dan obak sodor pulau-pulau lain. Kok duduk “iftirasy” berjam-jam. Kok makan tidak “teratur”. Kok tidak
sakit. Kok tidak asam urat, kolestrol dan darah tinggi, kok tidak ngantuk, kok tidak menguap, kok selesai subuh nanti jam 7 berangkat kerja lagi.

Ketika sesekali untuk itu saya menjelaskan, misalnya, Ilmu Kesehatan Khilafah: tiba-tiba kepala saya dilempar batu dan terdengar teriakan: “Pembela HTI!”. Itu kata lahir dari peta ideologi, padahal saya tidak pernah mikir ideologi. Itu teriakan muncul dari pemetaan politik praktis, padahal saya seorang tua Abu Sittin yang selama hidup tidak pernah melibatkan diri di dalamnya.

Kalau engkau tidak ikut mengutuk anjing, maka engkau adalah anjing. Kalau engkau mengelus-elus kepala kambing dan memijit-mijit engkel kakinya, engkau adalah kambing. Kalau kerbau berfoto dengan Lembu, ia dipecat dari kumpulan kerbau. Kalau ada pencopet dipukuli, dan engkau tidak ikut memukuli, maka engkau pro-copet. Harus kau perjelas RT-RK-RW-mu di Kutub Utara atau Selatan. Sebab di Khatulistiwa tak ada RT-RK-RW. Tak ada Negeri Khatulistiwa. Yang ada Negeri Polarisasi. Negeri Kotak-kotak.

Andaikan yang berduel Gatotkaca lawan Suteja, andaikan yang bertempur Kurawa versus Pandawa, karena itu adalah mitos, maka tidak sukar menentukan pemihakan, misalnya semua manusia pasti berpihak pada Gatotkaca dan Pandawa. Tetapi di Era Talbis sekarang ini: Pandawa bisa ternyata Kurawa. Tidak jelas mana Gatotkacanya mana Sutejanya. Dunia tidak mengerti nilai. Dunia hanya paham benda dan kotak-kotak. Padahal saya nonton wayang “Gatotkaca Kembar” dengan bekal pemihakan kepada nilai, menikmati wayang dengan pemihakan kepada nilai, kemudian pulang ke rumah juga dengan membawa pemihakan kepada nilai.

Nilai benar dan salah, baik dan buruk, sangat jelas pilahnya di pertunjukan Wayang. Tetapi di lapangan kenyataan zaman, ia relatif dan sangat mungkin terbalik, atau campur-campur. Di Era 6X6 bisa disulap jadi = 30 atau 120 atau bahkan 2,3 trilyun:

sungguh tidak mudah mengidentifikasi koordinat nilai-nilai.

Ayam tidak cukup berkokok, ia juga wajib bikin statemen bahwa ia berkokok, baru diketahui bahwa ia berkokok. Orang tidak cukup bersedekah, tapi harus mengumumkan bahwa ia bersedekah. Engkau tidak cukup melakukan tindakan bahwa engkau peduli terhadap garam: engkau harus bikin papan nama dan logo “Saya Peduli Garam”, disebarkan di dunia maya. Engkau tidak bisa menyimpan rahasia percintaanmu dengan Allah, engkau harus bikin papan nama dan KTP – Nama: Gentho atau Korak, Agama: Islam.

Khilafah adalah desain manajemen sangat utuh, komprehensif, matang dan indah yang dianugerahkan oleh Allah. Apalagi Tuhan bikin mudah: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. Bukan tiap-tiap bangsa, tiap-tiap Ormas, Suku, Parpol, Ummat, Masyarakat. Apalagi “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Nanti dipersaksikan oleh Allah saya diadili sendirian untuk diputar video kehidupan saya di bumi dan dibuktikan secara audio-visual fakta-fakta kesetiaan atau perselingkuhan 6X6 = 36 saya.

Sejak lama saya sudah mencatat, mengurut, memilah, menggambar bagan-bagannya dengan seluruh kelengkapannya sebagai gambar besar maupun bulatan-bulatan “Silmi” detailnya. Dari organisme hingga organisasi. Dari kerikil hingga Alamul Malakut. Dari daun layu menguning hingga Naga di pintu sorga. Dari setetes air mani hingga honeymoon dengan Big Boss. Dari asap tembakau hingga “Liqo`u Rabb”. Dari Polsek hingga “Rububiyah”. Dari pelok mangga hingga Pohon Sarjana Utama di sorga. Dari “urip ming mampir ngombe” hingga reklamasi dan kampung halaman sejati, yang ditempuh melalui Idul fitri lintas Bumi. Dan berlaksa-laksa tetesan “Silmi” maupun bangunan makro “Islam”.

Tetapi sampai hari ini saya tidak menemukan indikator bahwa manusia membutuhkan itu. Masyarakat dan ummat juga tidak. Ormas dan Madzhab juga tidak. Negara dan Pemerintah juga tidak. Mereka sangat sibuk dengan segala sesuatu yang oleh Tuhan sengaja “dibikin tampak indah”. Maka mereka tidak bertanya, dan itu membuatku lebih merdeka. Hidupku longgar lapang nyaman menikmati Khilafah minallah wa Ma’iyah ma’allah di Gua Rahasia. ***

Load comments