2018-01-30
Tingkatan-Tingkatan Manusia Sehubungan Wahdah al-Wujud

Dalam hubungan dengan pemahaman atas prinsip ketunggalan wujud, para pemikir faham ini—diwakili oleh Sayid Haidar ‘Amuli—biasa membagi manusia dalam hal kemajuannya di dalam perjalanan ruhaniah ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah orang-orang kebanyakan (awam). Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang hanya menggunakan akalnya saja (dzaw al-‘aql). Yang paling rendah adalah orang-orang yang tak bisa melihat sesuatu yang lain kecuali dunia kasat mata ini. Bagi mereka, tak ada sesuatu di baliknya. Masih dalam kelompok orang awam ini, terdapat sekelompok orang yang bisa melihat bahwa di balik dunia fenomenal yang kasat mata ini sesungguhnya ada Sesuatu Zat Yang Mutlak, disebut Tuhan. Tapi, bagi kelompok ini, Tuhan tampil sebagai Zat Yang (semata-mata) Transenden atau terpisah dari ciptaan-ciptaan-Nya. Dalam pandangan ini, tak ada hubungan lain antara Tuhan dan ciptaannya kecuali hubungan eksternal seperti penciptaan dan dominasi Allah atas ciptaan-ciptaan-Nya. Mereka inilah “manusia-manusia lahir” (ahl al-zhâhir).
Kelompok kedua, yang sudah lebih tinggi maqâm-nya dalam perjalanan ruhaniah ini (khawâshsh, yakni orang-orang yang telah menggunakan intuisi-mistikalnya, atau dzaw al-‘ain), telah berhasil mencapai tingkat fanâ’—yakni kesirnaan-diri di dalam Allah Swt. Bersama dengan itu, mereka pun tak lagi menampak alam semesta ini. Di “mata” mereka, yang ada hanya Allah. Tak ada diri mereka, tak ada pula ciptaan-ciptaan-Nya yang lain. Yang mereka lihat hanya “ke-Tunggal-an”, hanya Allah. Namun, ketika orang-orang ini kembali dari ke-fanâ’-annya—karena fanâ’ adalah satu di antara berbagai keadaan ruhaniah (ahwâl) yang bersifat sementara saja—maka mereka kembali melihat kejamakan (multisiplisitas) ciptaan-ciptaan-Nya. Hanya, kali ini mereka melihat segala kejamakan ini sebagai ilusi, atau maya. Dalam pandangan mereka, dunia fenomenal itu tak memiliki nilai ontologis (kewujudan) karena sejatinya kesemuanya itu tak real. Objek-objek eksternal itu sesungguhnya tak “wujud” dalam makna-sejati kata itu.
Tapi, di mata kelompok ketiga (filosof-sufi dari maqâm tertinggi), pandangan kelompok kedua ini tak sepenuhnya benar. Dunia eksternal ciptaan-ciptaan ini sesungguhnya benar-benar ada. Bahkan, ketika mereka mengalami “penglihatan” (visiun) akan Allah, mereka sebenarnya melihat itu sebagai terpantul dalam ciptaan-ciptaan-Nya. Hanya saja, sebagian orang dalam kelompok ketiga, yang belum lagi mencapai puncak perjalanan, silau oleh sinar kemilau tak terkira (yang bersumber dari) Allah, sehingga mereka kehilangan kemampuan untuk melihat ciptaan-ciptaan yang memantulkan-Nya itu.
Jika bagi kelompok pertama – yang melihat Tuhan dalam berbagai ciptaan di alam semesta — Sang Mutlak bertindak sebagai cermin-mengkilat yang di dalamnya ciptaan-ciptaan-Nya terpantulkan, maka bagi kelompok kedua segala-sesuatu yang selain Allah itulah yang memantulkan Sang Mutlak. Dalam kedua hal itu, orang biasanya hanya melihat bayangan-bayangan yang dipantulkan dalam cermin itu, sementara cermin itu sendiri tak tampak.
Dalam pandangan kelompok ketiga yang telah masuk ke dalam yang elite dari para elite (khawwâsh al-khawwâsh atau orang-orang yang menggunakan akal dan intuisinya, dzaw al-‘aql wa al-‘ain) ini, hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya mengambil bentuk ke-Tunggal-an dalam kejamakan. Orang-orang yang telah mengalami “tinggal-tetap” (baqa) dalam Allah ini mampu melihat Allah dalam ciptaan-Nya dan ciptaan-Nya dalam Allah. Mereka dapat melihat, baik cermin maupun bayangan-bayangan yang terpantul di dalamnya. Dengan kata lain, Allah dan ciptaan-Nya secara bergantian bertindak sebagai cermin dan bayangan. (Satu-satunya) “wujud”—dalam hal ini harus ditulis sebagai “Wujud”—adalah sekaligus Allah dan ciptaan-Nya, Sang Mutlak dan dunia fenomenal (inderawi), serta ke-Tunggal-an dan kejamakan (unitas dan multiplisitas). Penglihatan akan hal-hal fenomenal tidak menghalangi mereka dari melihat ke-Tunggal-an murni dari Hakikat puncak. Tak pula penglihatan akan yang Tunggal menghalangi mereka dari menangkap kejamakan.
Sebaliknya, keduanya melengkapi satu sama lain dalam mengungkapkan struktur Hakikat yang sebenarnya. Karena keduanya adalah dua aspek dari Hakikat yang sama. Ke-Tunggal-an menampilkan aspek “kemutlakan” (ithlâq), sementara kejamakan menampilkan aspek “perluasan konkret” (perluasan dalam bentuk-bentuk kasat mata atau tafshîl ) (dari Yang Mutlak itu). Orang-orang yang telah mencapai maqâm ini disebut juga sebagai “yang memiliki dua mata (dzaw al-‘ainyin),” yang satu melihat ke-Tunggal-an dan yang lain melihat kejamakan. Proses penampakan ke-Tunggal-an yang pada awalnya tak-terbedakan ke dalam berbagai bentuk ini biasa disebut sebagai “pengejawantahan-diri” atau “manifestasi-diri” (tajallî) dari Sang Wujud (Allah).
Memisalkan hubungan ini dengan hubungan matahari dan sinarnya mungkin akan membantu. Sinar matahari hanya ada bersama dengan matahari, sebagai sumbernya. Selama ada matahari, sinar matahari ada. Sinar matahari juga tak pernah berada terpisah dari matahari itu sendiri. Tapi, sinar matahari tak sama dengan matahari itu sendiri. Jadi, meski tak pernah terpisah, sinar matahari berbeda dengan matahari. [oleh: Haidar Bagir - Islam-Indonesia]
Jangan lupa dukung Mistikus Channel Official Youtube Sufipedia dengan cara LIKE, SHARE, SUBSCRIBE :
Tinggalkan komentar silahkan klik KOMENTAR dibawah posting ini.
Tinggalkan komentar silahkan klik KOMENTAR dibawah posting ini.
Related Posts
- “Dan Dialah yang memulai penciptaan itu, kemudian Dia mengembalikannya/mengulangi kembali
- Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat diantaranya adalah digitalisasi media c
- Tokoh Islam, Ahmad Syafii Ma'arif atau yang disapa Buya Syafii Ma'arif mengajak umat Is
- Manfa'at berguru adalah agar terhindar dari perkara-perkara yang SESAT dan untuk menghin
- Al Qahwah (Kopi) Suatu ketika as-Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi jumpa dengan Nabi M
- Al Barokah Al Habib Husein Bin Abdullah Assegaf (Gresik) Qohwa / kopi adalah minu
KOMENTAR
Subscribe to:
Post Comments (Atom)