2018-01-31

Suluk-Suluk Sunan Bonang


Khazanah sastra Jawa sangat kaya, bukan saja jumlah karya yang dilahirkan, tetapi juga jenis dan coraknya. Pigeaud dalam bukunya Literature of Java (1967:4-7) membagi tahapan-tahapan perkembangannya ke dalam empat babakan.

Pertama, zaman Hindu Jawa dari abad ke-9 hingga 15 M. Pada periode ini puncak perkembangannya mengambil masa pada zaman kerajaan Kediri (abad ke-11 dan 12 M) dan berlanjut sampai munculnya di kerajaan Singosari (1222-1292 M) dan Majapahit (1292-1478 M). Zaman ini disebut zaman sastra Jawa Kuna atau Kawi. Karya-karya zaman ini tidak hanya dibaca di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetapi juga di Bali dan Madura yang merupakan bagian dari kerajaan Majapahit.

Kedua, zaman Jawa-Bali dari abad ke-15 hingga abad ke-19 M. Setelah Majapahit runtuh pada akhir abad ke-15 M, banyak sekali keluarga raja-raja dan bangsawan Majapahit pindah ke Bali dan melanjutkan kegiatan sastra Jawa Kuno di tempat tinggal mereka yang baru.

Ketiga, zaman Islam atau Pesisir, dari abad ke-15 hingga 19 M. Pada zaman ini kegiatan sastra berpindah ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam seperti Gresik, Tuban, Surabaya, Kudus, Demak, dan Madura.

Keempat, zaman Surakarta dan Yogyakarta dari abad ke-18 hingga abad ke-20 M. Pada abad ke-18 M, dengan berdirinya kerajaan Surakarta sebagai pelanjut kerajaan Mataram, muncul zaman renaissan (kebangkitan kembali) sastra Jawa Kuno. Banyak sekali karya-karya Jawa Kuno digubah kembali dalam bahasa Jawa Baru. Begitu pula tidak sedikit disadur karya-karya Pesisir dan karya-karya Melayu disadur atau dicipta ulang dalam bahasa Jawa Baru.

Peranan Jawa Timur

Khazanah sastra yang dihasilkan pada zaman Hindu Jawa, serta zaman Islam Pesisir – dua zaman yang relevan bagi pembicaraan kita — sama melimpahnya dan memiliki peranan penting dalam membentuk kebudayaan dan peradaban masyarakat Jawa dan Madura, serta masyarakat Nusantara secara keseluruhan, karena pengaruh karya-karya tersebut tidak hanya terbatas di Jawa, Bali dan Madura. Tetapi juga berpengaruh di Banten, Palembang, Banjarmasin, Jawa Barat (Sunda), dan Lombok (Pigeaud 1967:4-8). Karya Jawa Timur yang berpengaruh dan tersebar sampai di Malaysia Thailand dan Kamboja ialah siklus Cerita Panji, yang ditulis setelah runtuhnya kerajaan Majapahit (Purbatjaraka, 1958). Latar cerita ialah di lingkungan kerajaan Daha dan Kediri. Versi roman ini sangat banyak dan mengilhami banyak syair hikayat dalam sastra Melayu seperti Syair Ken Tambuhan, Hikayat Andaken Penurat dan lain-lain.

Tetapi bagaimana pun juga yang dipandang sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Klasik ialah beberapa kakawin seperti Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu Monaguna), Kresnayana (Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular), Lubdhaka (Mpu Tanakung), Negarakertagama (Mpu Prapanca), Kunjarakarna, Pararaton, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-kisah dari Mahabharata) dan banyak lagi kitab lain, baik yang ditulis dalam bentuk kakawin maupun kidung, yang banyak diantaranya anonim (Zoetmulder 1983: 80-478).

Berbeda dengan sastra Jawa Kuno yang sumber dan akarnya adalah sastra Sansekerta, sebagaimana juga bahasanya yang dipenuhi kata-kata ambilan dari bahasa Sansekerta; ssumber sastra Jawa Pesisir ialah sastra Arab, Persia dan Melayu Islam, sehingga tidak mengherankan apabila dalam bahasa yang digunakan terdapat banyak kata-kata serapan dari ketiga bahasa tersebut.

Kegiatan sastra Pesisir bermula di kota-kota pelabuhan, yang sudah sejak abad ke-9 dan 10 merupakan tempat singgah para pedagang Muslim dan kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam. Kota-kota pesisir yang memainkan peranan penting dalam penulisan kitab agama dan karya sastra ialah Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak dan Jepara. Dari situ kegiatan sastra Pesisir menyebar ke Cirebon dan Banten di Jawa Barat, Sumenep dan Bangkalan di pulau Madura, kemudian Pasuruan, Besuki, Situbondo dan Banyuwangi. Sastra Jawa Pesisir tidak hanya berpengaruh di daerah pesisir pulau Jawa, tetapi juga ke tempat lain di luar pulau Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin dan Lombok. Bahkan kemudian dikembangkan pula di pedalaman Jawa, khususnya di kraton Surakarta dan Yogyakarta serta daerah-daerah lain di sekitarnya seperti Banyumas, Kediri dan Madiun (Pigeaud 1967:6-7)

Khazanah sastra Jawa Pesisir, khususnya yang dihasilkan di Jawa Timur, tidak kalah melimpahnya dibandingkan khazanah sastra Jawa Kuno. Khazanah itu meliputi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Jawa Madya Pesisir, Jawa Baru Pesisir dan Madura. Ia meliputi berbagai jenis dan corak sebagaimana yang terdapat dalam sastra Melayu Islam: (1) Kisah-kisah berkenaan dengan Nabi Muhammad s.a.w; (2) Kisah para Nabi, di Jawa disebut Serat Anbiya’. Dari sumber ini muncul kisah-kisah lepas seperti kisah Nabi Musa, Kisah Yusuf dan Zuleikha, Kisah Nabi Idris, Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Yunus, Isa dan lain-lain; (3) Kisah Sahabat-sahabat Nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib; (4) Kisah Para Wali seperti Bayazid al-Bhiztami, Ibrahim Adam dan lain-lain; (5) Hikayat Raja-raja dan Pahlawan Islam, seperti Amir Hamzah, Muhammad Hanafiah, Johar Manik, Umar Umayya dan lain-lain. Dalam sastra Jawa, Madura dan Sunda disebut Serat Menak, serial kisah para bangsawan Islam; (6) Sastra Kitab, uraian mengenai ilmu-ilmu Islam seperti tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu fiqih, usuluddin, tasawuf, tarikh (sejarah), nahwu (tata bahasa Arab), adab (sastra Islam) dan lain-lain, dengan menggunakan gaya bahasa sastra; (7) Karangan-karangan bercorak tasawuf. Dalam bentuk puisi karangan seperti itu di Jawa disebut suluk. Tetapi juga tidak jarang dituangkan dalam bentuk kisah perumpamaan atau alegori. Dalam bentuk kisah perumpamaan dapat dimasukkan kisah-kisah yang mengandung unsur didaktis, yang ajaran yang dikemukakan mengandung unsur ajaran tasawuf atau etika sufi; (7) Karya Ketatanegaraan, yang menguraikan masalah politik dan pemerintahan, diselingi berbagai cerita; (8) Karya bercorak sejarah; (9) Cerita Berbingkai, di dalamnya termasuk fabel atau cerita binatang; (10) Roman, kisah petualangan bercampur percintaan; (11) Cerita Jenaka dan Pelipur Lara. Misalnya cerita Abu Nuwas (Ali Ahmad dan Siti Hajar Che’ Man:1996; Pigeaud 1967).

Pada masa awal dari perkembangannya para penulis Pesisir pada umumnya ulama tasawuf atau sufi, yang di Jawa disebut wali. Di antaranya yang terkenal sebagai penulis ialah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Panggung dan Syekh Siti Jenar. Juga para pendakwah Islam dan guru agama. Sayang, dalam banyak buku dan katalog yang memuat karya Pesisir jarang nama penulis teks disebutkan. Yang dianggap pelopor sastra Pesisir ialah Sunan Bonang. Ini dikarenakan naskah-naskah Pesisir tertua yang dijumpai memuat teks-teks yang diniskahkan kepada Sunan Bonang sebagai penulisnya.

Sunan Bonang Sebagai Pengarang

Sunan Bonang diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M dan wafat pada awal abad ke-16 M. Ada yang memperkirakan wafat pada tahun 1626 atau 1630, ada yang memperkirakan pada tahun 1622 (De Graff 1985:55). Dia adalah ulama sufi, ahli dalam berbagai bidang ilmu agama dan sastra. Juga dikenal ahli falak, musik dan seni pertunjukan. Sebagai sastrawan dia menguasai bahasa dan kesusastraan Arab, Persia, Melayu dan Jawa Kuno. Nama aslinya ialah Makhdum Ibrahim. Dalam suluk-suluknya dan dari sumber-sumber sejarah lokal ia disebut dengan berbagai nama gelaran seperti Ibrahim Asmara, Ratu Wahdat, Sultan Khalifah dan lain-lain (Hussein Djajadiningrat 1913; Purbatjaraka 1938; Drewes 1969). Nama Sunan Bonang agaknya diambl dari nama tempat sang wali mendirikan pesujudan (tempat melakukan `uzlah) dan pesantren di desa Bonang, tidak jauh dari Lasem di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur sekarang ini. Tempat ini masih ada sampai sekarang dan ramai diziarahi pengunjung untuk menyepi, seraya memperbanyak ibadah seperti berzikir, mengaji al-Qur’an dan tiraqat (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107).

Kakeknya bernama Ibrahim al-Ghazi bin Jamaluddin Husain, seorang ulama terkemuka keturunan Turki-Persia dari Samarkand. Syekh Ibrahim al-Ghazi sering dipanggil Ibrahim Asmarakandi (Ibrahim al-Samarqandi), nama takhallus atau gelar yang kelak juga disandang oleh cucunya. Sebelum pindah ke Campa pada akhir abad ke-14 M, Syekh Ibrahim al-Ghazi tinggal di Yunan, Cina Selatan. Pada masa itu Yunan merupakan tempat singgah utama ulama Asia Tengah yang akan berdakwah ke Asia Tenggara. Di Campa dia kawin dengan seorang putri Campa keturunan Cina dari Yunan. Pada tahun 1401 M lahirlah putranya Makhdum Rahmat, yang kelak akan menjadi masyhur sebagai wali terkemuka di pulau Jawa dengan nama Sunan Ampel. Setelah dewasa Rahmat pergi ke Surabaya,mengikuti jejak bibinya Putri Dwarawati dari Campa yang diperistri oleh raja Majapahit Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V. Di Surabaya, ayah Sunan Bonang ini, mendapat tanah di daerah Ampel, Surabaya, tempat dia mendirikan masjid dan pesantren. Dari perkawinannya dengan seorang putri Majapahit, yaitu anak adipati Tuban, Tumenggung Arya Teja, dia memperoleh beberapa putra dan putri. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. (Hussein Djajadiningrat 1983:23; Agus Sunyoto 1995::48).

Sejak muda Makhdum Ibrahim adalah seorang pelajar yang tekun dan muballigh yang handal. Setelah mempelajari bahasa Arab dan Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, usuluddin, tafsir Qur’an, hadis dan tasawuf; bersama saudaranya Sunan Giri dia pergi ke Mekkah dengan singgah terlebih dahulu di Malaka, kemudian ke Pasai. Di Malaka dan Pasai mereka mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Sejarah Melayu merekam kunjungan Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Malaka sebelum melanjutkan perjalanan ke Pasai. Sepulang dari Mekkah, melalui jalan laut dengan singgah di Gujarat, India, Sunan Bonang ditugaskan oleh ayahnya untuk memimpin masjid Singkal, Daha di Kediri (Kalamwadi 1990:26-30). Di sini dia memulai kariernya pertama kali sebagai pendakwah.

Ketika masjid Demak berdiri pada tahun 1498 M Sunan Bonang dipilih oleh Raden Patah, sultan Demak yang pertama, untuk menjadi imam pertama masjid agung ini.

Dalam tugasnya itu dia dibantu oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo dan wali yang lain. Di bawah pimpinannya masjid Demak segera berkembang menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka di pulau Jawa. Tetapi beberapa tahun kemudian, diperkirakan pada tahun 1503 M, dia berselisih pandangan dengan Sultan Demak dan memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai imam masjid agung.

Dari Demak Sunan Bonang pindah ke Lassem, dan memilih desa Bonang sebagai tempat kegiatannya yang baru. Di sini dia mendidirikan pesujudan dan pesantren. Beberapa karya Sunan Bonang, khususnya Suluk Wujil, mengambil latar kisah di pesujudannya ini di mana dia memberikan ajaran rahasia agama kepada muridnya, seorang bekas abdi dalem Majapahit yang terpelajar bergelar Wujil (Abdul Hadi W. M. 2000:96-107). Setelah cukup lama tinggal di Bonang dengan mendidik banyak murid, dia pun pulang ke kota kelahirannnya di Tuban. Di sini dia mendirikan masjid besar dan pesantren, meneruskan kegiatannya sebagai seorang muballigh, pendidik, budayawan dan sastrawan terkemuka sehingga masa akhir hayatnya.

Dalam sejarah sastra Jawa Pesisir, Sunan Bonang dikenal sebagai penyair yang prolifik dan penulis risalah tasawuf yang ulung. Dia juga dikenal sebagai pencipta beberapa tembang (metrum puisi) baru dan mengarang beberapa cerita wayang bernafaskan Islam. Sebagai musikus dia menggubah beberapa gending (komposisi musik gamelan) seperti gending Dharma yang sangat terkenal. Di bawah pengaruh wawasan estetika sufi yang diperkenalkan para wali termasuk Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, gamelan Jawa berkembang menjadi oskestra polyfonik yang sangat meditatif dan kontemplatif. Sunan Bonang pula yang memasukkan instrumen baru seperti rebab Arab dan kempul Campa (yang kemudian disebut bonang, untuk mengabadikan namanya) ke dalam susunan gamelan Jawa.

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua: (1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain. (2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

Suluk-suluk Sunan Bonang

Sebagaimana telah dikemukakan suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, asmaradana, dandanggula dan lain-lain. Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalanan keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:25).

Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu (Ibid).

Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).

Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah setelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.

Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.

Gentur atau Bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertinggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat da'im qa'im. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idhafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuitif atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idhafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat Al-Qur`an 28: 88: “Segala hal binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui perumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat da'im qa'im adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:

1. Mutawilah (Muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (Muta`akhira)

Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat Al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang kedua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.

Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lama'at karya Fakhrudin `Iraqi.

Oleh Abdul Hadi W. M.
(Bersambung ke bagian 2, 3 dan 4)

KOMENTAR