2024-04-03

Jalan Hidup Al Hallaj Sang Martir Sufi


"Bunuhlah aku, wahai kawan-kawanku yang beriman, karena dalam keterbunuhanku terdapat kehidupanku. Kehidupanku adalah kematianku, dan kematianku adalah kehidupanku."

(Al-Hallaj)

Makna kata-kata Al-Hallaj di atas hampir sama dengan makna kata-kata leluhur Jawa: Mati sajroning urip, urip sajroning pati (Mati dalam hidup, hidup dalam kematian)

Kehidupan yang sesungguhnya adalah ketika kita telah mampu mematikan segala nafsu kita, ketika kita telah sampai pada Sang Hyang Atman, kehidupan sejati dalam diri. Sang Hyang Atman adalah Ruh, Tuhan dalam diri kita yang diselimuti oleh nafsu yang berlapis-lapis. Tasawuf dan Kejawen mengajarkan pada kita untuk melintasi nafsu-nafsu tersebut. 

Tasawuf mengajarkan pada kita antara lain tazkiyatun nafs (penyucian nafsu) lewat Jalan Mahabbah, Kejawen mengajarkan pada kita antara lain mesu budi babahan hawa sanga (menutup sembilan lubang dalam diri kita)

Semuanya bertujuan agar sang nafsu yang merasa hidup, padahal ia hanyalah maya, terlampaui, pupus, dan memberikan kesempatan pada Sang Hyang Atman menggerakkan segala langkah kita. Jika kita belum mati dalam arti hakiki ini, kita tidak bisa disebut hidup, karena La Haula Wa La Quwwata Illa Billah, tiada daya dan upaya selain dengan (daya dan upaya) Allah. Al-Hallaj mengatakan kata-kata di atas pada saat beliau digiring menuju tiang gantungan karena dituding sesat. Jadi, ini bukan laku bunuh diri, harus dipahami konteksnya. 

Di tanah Jawa, ungkapan di atas hampir mirip dengan ajaran Kanjeng Syekh Siti Jenar tentang hakikat kehidupan dan kematian.

KOMENTAR