2017-08-28

Pengantar Kitab al-Futuhat al-Makkiyah


Kitab al-Futuhat al-Makkiyah Karya Ibnu ‘Arabi

Ibnu Arabi adalah nama panggilan akrab Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi at-Tha’i al-Mursy al-Andalusy. Sederetan nama dan gelar penghormatan disematkan pada dirinya yang diberikan dari umat Islam dan para ulama pada zamannya, antara lain gelar Muhyiddin (Tokoh yang Menghidupkan Ajaran Agama), as-Syekh al-Akbar (Guru Besar), al-Kibrit al-Akhmar, Dzu al-Mahasin (Pemilik Kebaikan), Sulthanul ‘Arifin (Raja Para Teosuf), Khatimul Auliya (Wali Pungkasan), al-Waritsin, al-‘Arif al-Muhaqqiq al-Kamil al-Mudaqqiq, Barzakh al-Barazikh, al-Hakim al-Ilahy, Ibnu Aflatun. Ibnu Arabi adalah sebutan yang paling dikenal (ditulis dengan tanpa huruf AL), untuk membedakan dengan nama al-Qadli Aby Bakar Ibnu al-‘Arabi (ditulis dengan menggunakan huruf AL), seorang ulama pakar tafsir.

Ibnu Arabi lahir pada hari Senin, 17 Ramadlan, tahun 560 H./ 28 Juli 1165 M. Ia menghirup kehidupan masa kecilnya di kota Murcia. Pada usia 8 tahun, bersama keluarganya pindah ke kota Isbiliya. Ia mulai belajar al-Qur’an dan berbagai disiplin ilmu Islam, seperti hadits, fikih, tafsir, dan lain-lain kepada murid-murid pengikut setia Ibnu Hazm ad-Dzahiri, seorang ulama ahli fikih kenamaan Andalusia.

Semasa kecil Ibn ‘Arabi, kota Murcia telah dikenal sebagai pusat madrasah-madrasah atau aliran-aliran tasawuf yang sangat berpengaruh dan memiliki kontribusi pada kehidupan keagamaan dan politik di Andalus. Pada masa pemerintahan al-Muwahhidin, kota ini banyak dipenuhi jamaah atau komunitas spiritual yang terkenal, yaitu jamaah spiritual dibawah bimbingan sang mursyid Aby al-‘Abbas Ibnu al-‘Arif, seorang sufi besar yang menulis kitab “Mahasin al-Majalis”. Sebagai seorang ulama yang kritis, Aby al-‘Abbas Ibnu al-‘Arif mengkritik kebijakan-kebijakan Dinasti Murabitin yang dianggapnya tidak pro-rakyat. Di kota Murcia juga berdiri madrasah tasawuf sebagai lanjutan dari madrasah tasawuf bimbingan Ibnu Masarah, seorang teosuf yang mengusung wihdah al-wujud, dan dituduh oleh para ahli fikih (fuqhaha) sebagai zindiq dan ateis. Madrasah inilah yang dalam perkembangannya dikelola oleh salah satu murid Ibnu al-‘Arif Aby ‘Abdullah al-Ghazal, yang juga sebagai saudara Ibnu Arabi. Di madrasah tersebut, Ibnu Arabi pertama kali menulis kitab tasawuf, yaitu “Mawaqi’ an-Nujum”. Kitab ini dianggap sebagai pengantar menuju kehidupan tasawuf yang bermanfaat bagi para murid dengan tanpa membutuhkan seorang guru spiritual, atau tanpa harus ketergantungan pada ajaran sang mursyid.

Ketika usianya beranjak sekitar 30 tahun, Ibnu Arabi menjadi sufi darwis, berkelana ke penjuru dunia Islam. Dari Andalusia, berkelana ke Mesir, Damascus, dan Makkah. Di kota Makkah, Ibnu Arabi meluapkan pengalaman spiritualnya ke dalam karya-karya agungnya, yaitu al-Futuhat al-Makiyyah, Tarjuman al-Asywaq, dan Ruh al-Quds. Di kota ini, Ibnu Arabi menetap sampai akhir hayatnya, dan meninggal pada tahun 638 H. Makamnya hingga saat ini dikunjungi jutaan para peziarah dari penjuru dunia.

Dalam bentangan sejarah peradaban Islam, nama Ibnu Arabi dikenal sebagai sufi yang sangat produktif menulis kitab-kitab tasawuf. Berdasarkan pengakuannya, pada tahun 632 H., Ibnu Arabi berhasil menulis hingga mencapai dua ratus delapan puluh sembilan (289) kitab dan risalah pendek. Dengan mengutip pendapat ‘Abdurrahman Jami, seorang ulama komentator (syarih) dan pengikut setia ajaran Ibnu Arabi, dalam tulisannya di kitab Ensiklopedia Sufi-Sufi Islam, Nafahat al-Unsi, mengatakan bahwa Ibnu Arabi menulis lima ratus kitab dan satu risalah pendek. Hampir senada dengan pendapat ‘Abdurrahman Jami, as-Sya’rani dalam kitabnya yang berjudul al-Yawaqit wa al-Jawahir, berpendapat bahwa karya Ibnu Arabi mencapai 400 kitab.

Di antara karya-karaya Ibnu Arabi yang sudah dicetak dan diterbitkan serta sampai kepada khalayak saat ini, yaitu kitab al-Futuhat al-Makkiyya. Kitab ini dicetak ke dalam berbagai versi, di antaranya penerbit yang pertama kali mencetak kitab tersebut adalah Maktabah Bulak-Cairo, empat jilid; diikuti oleh penerbit Dar al-Shadr dan Dar Ihya’ li al-Turats, Beirut-Lebanon, empat jilid dengan mengcopy terbitan Maktabah Bulak-Cairo dan ditulis dengan fount Arab yang lebih jelas; penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, sembilan jilid. Dr. ‘Utsman Yahya, seorang pakar tasawuf, pernah men-tahqiq-nya dan baru selesai seperempat kitab, karena beliau meninggal dunia. Meski demikian hasil kerja tahqiq-nya yang mencapai 14 jilid, telah diterbitkan penerbit al-Hayah al-‘Ammah lil-Kuttab, Cairo-Mesir.

Karya Ibnu Arabi selain kitab babon yang disebutkan di atas, yaitu kitab Fushush al-Hikam, Tafsir al-Quran al-Karim, terdiri dari dua jilid (ada dua kitab tafsir, 1. Kitab tafsir, dua jilid). Kitab ini sejatinya ditulis oleh muridnya tetapi disandarkan pada nama Ibnu Arabi. Kitab tafsir Ibnu Arabi yang sangat tebal yang sampai sekarang masih berbentuk makhthuthat [manuskrip] terdiri 95 jilid dan tersimpan di perpustakaan Al-Azhar, Cairo-Mesir). Kitab-kitab tersebut antara lain Fushuh al-Himam, al-Washaya, Misykatul Anwar, ad-Dzurrah al-Fakhirah, Istilahat as-Sufiyyah, at-Tanzilat al-Mushaliyyah, Tanbihat ‘ala ‘Uluwwi al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, Taujihat al-Huruf, Raddl al-Mutasyabil ila al-Muhkam, al-‘Ajlah, al-Hukmu al-Hatimiyyah, ‘Aqidah fi at-Tauhid, Tahdzib al-Akhlaq, al-Anwar, al-Khalwah al-Mutlaqah, Syajaratul al-Kaun, Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya’, al-‘Abadillah, ar-Risalah al-Wujudiyyah, an-Nur al-Asna, Mawaqi’ an-Nujum, Dzakhair al-A’laq ‘ala Syarh Tarjuman al-Asywaq, al-Amru al-Muhkam, Kitab al-Kunhi, Nafais al-‘Irfan, Tuhfat as-Safarah, ‘Anqa Maghrib, Ruh al-Qudus, Risalah ila Fakhruddin ar-Razi, Kitab al-Jalalah, Ayyamu as-Sya’n, Isnya’ ad-Dawair, ‘Aqlat al-Mustaufiz, at-Tadbirat al-Ilahiyyah, al-Fana, al-I’lam bi-Isyarat Ahli Ilham, al-Qism al-Ilahi, al-Azal, al-Isra’, as-Syahid, al-Jalal wa al-Jamal, al-Qurbah, Kitab al-Mim wa al-Wawu wa an-Nun, Risalah La Yu’awwilu ‘Alaihi, Risalah fi Su’ali Ibnu Sudkin, at-Tarajum, Tadzkirah al-Khawash, al-Intishar, Kitab al-Masail, al-Asfar, Hilyat al-Abdal, al-Washiyyah, Manzilah al-Quthub, Kitab al-Kutub, at-Tajalliyat, Naqshul al-Fushush, Diwan, Tadzkirat al-Khawash, Syaqqul al-Juyub, al-Mabadi’ wa al-Ghayat, Muhadlarah al-Abrar, Rasail al-Masa’il.

Masih banyak kitab dan risalah pendek karya Ibnu Arabi yang masih berbentuk manuskrip (makhthuthat) dan berada di perpustakaan-perpustakaan di negara-negara Islam dan Barat (Eropa). Beberapa perpustakaan yang dapat disebut di sini misalnya al-Ittihad al-Kauni, Risalah al-Asrar, Isyarat al-Quran, al-Insan al-Kully, Bulghatul al-Ghawash, Taj ar-Rasa’il, Tahrir al-Bayan, Tanqih al-Fuhum, Da’wat Asma’ Allah al-Husna, Sirr al-Mahabbah, Syarh Khal’ an-Na’layn, Syujun al-Masyjun, Shifatu Julusi al-Murtadl, ar-Risalah al-Ghawtsiyyah, Risalah fi al-Arwah, Risalah fi Ma’rifat al-Aqthab, al-Qawa’id al-Kulliyyah fi Ma’rifai Tajalli al-Asma al-Ilahiyyah, Kitab al-Haq, Kimiya’ as-Sa’adah, Mir’ah al-Ma’ani, Mir’ah al-‘Arifin, Masyahid al-Asrar al-Qudsiyyah, Ma’ridah al-Kanz al-‘Adlim, Mafatih al-Ghayb, Maqam al-Qurbah, Nuskhatul al-Haq, Kitab al-Yaqin, al-Maqshad al-Atsam, Kitab al-Hawa, dan kitab Maratib at-Taqwa.

Dalam berbagai karya akademiknya, Ibnu Arabi selalu menggunakan model atau bentuk penulisan yang tidak dapat dipahami secara literal dan terkadang terkesan ambigu. Karyanya menggunakan isyarat-isyarat yang ekslusif dan simbol-simbol. Tak heran, jika kesamaran model tulisan dan eklusifisme makna-makna menjadi ciri khas penulisan tasawuf Ibnu Arabi. Meski demikian, Ibnu Arabi menyadari bahwa pandangan dan pemikirannya yang terkesan transparan dan blak-blakan, akan menuai risiko. Sebab menurutnya, jika transparan akan menuai reaksi negatif dari orang-orang yang tidak setuju (kontra) dan menuai pengingkaran destruktif dari orang-orang yang di seberang jalan. Untuk hal ini, Ibnu Arabi mengatakan,

“Tidak ada penjelasan khusus atas pernyataan-pernyataan yang samar dan susah dipahami sesuai dengan apa yang dikehendaki saya sebagai sang penulis. Akan tetapi, sebenarnya ada penjelasan yang transparan, lugas, dan bisa diterima bagi para pembaca yang dapat memahami dengan benar, yaitu penjelasan yang tercecer dan terpisah-pisah di bab-bab yang terdapat di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah. Siapa pun yang dilimpahi rizki dari Allah berupa pemahaman tentang isi kandungan kitab al-Futuha al-Makiyyah tersebut, maka ia akan mengetahui penjelasan yang sebenarnya, dan meyakini bahwa ilmu yang ada di dalam kitab tersebut merupakan ilmu al-Haq dan perkataan (statement) yang benar.”

Ungkapan Ibn Arabi di atas memberikan pemahaman bahwa kitab al-Futuhat al-Makiyyah memiliki kedudukan yang signifikan. Oleh Ibnu Arabi sendiri, kitab ini dijadikan sebagai kitab yang dianggap dapat menjelaskan (mubayyin) dan mengklarifikasi pemahaman para pembaca atas kitab-kitab Ibnu Arabi lainnya. Meski demikian, dari sekian banyak karyanya, menurut penulis hanya ada dua kitab karya Ibnu Arabi yang paling penting dan yang mewakili gagasan besarnya, yaitu kitab al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam.

Tulisan ini bermaksud mengkaji salah satu dari keduanya, yaitu kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, sebuah kitab yang seringkali dikenal sebagai ensiklopedi tasawuf terbesar hingga hari ini. Kitab ini memuat berbagai pandangan filosuf sufistik dan dipandang otoritatif dalam menjelaskan berbagai karya Ibn Arabi lainnya.

Kitab al-Futuhat al-Makkiyyahd memuat sekitar lima ratus enam puluh (560). Jumlah bab ini tampaknya merujuk dan disesuaikan dengan tahun kelahirannya, 560 H. Kitab yang ditulis di kota Makkah al-Mukarramah pada tahun 598 H. dan selesai pada tahun 606 H., secara umum menjelaskan rahasia-rahasia agung, di antaranya mengenai hakikat dan tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan, konsep penciptaan, relasi Tuhan dan makhluk, praktik dan filosufi ritual ibadah, muamalah, suluk (praktik laku spiritual), kedudukan, posisi dan tingkatan spiritual para wali, quthub-quthub, konsep pluralisme agama, manusia sempurna (insan kamil), dan lain-lain.

Dalam kata pengantar kitab Futuhat al-Makiyyah, Ibnu Arabi tanpa tedeng aling-aling mengatakan sebuah fakta riil dari pengalaman spiritualitas subyektif yang sekian lama digelutinya. Sebuah pengalaman mencari cinta The One, dalam puncak gunung spiritualitasnya ia tak tahan menyembunyikan bara api cinta yang membara dan api itu berbentuk lahar yang dimuntahkannya dalam coretan-coretan filosofis yang penuh dengan rahasia. Coretan-coretan itu ternyata disadarinya masih terbatas dan belum mampu menguak lahar cinta yang masih terpendam di perut gunung hatinya yang terus bergejolak. Meski demikian, ia masih merasa harus menyampaikannya ke sidang pembaca. Hal ini karena ia beranggapan bahwa setelah teks itu ditulis maka teks sudah menjadi milik publik atau pembaca. Dengan demikian, pembacalah yang berhak menafsiri untuk mendapatkan makna dan pemahaman yang signifikan.

Pengalaman yang pada akhirnya menjadi ilmu itu, dituliskan diawali dengan ujaran sumpah atas nama ketulusan hati, ia seraya berkata bahwa kitabnya tersebut hasil dikte langsung dari sabda-sabd, kalam-kalam Tuhan, sebuah ilmu yang disampaikan melalui transformasi bi-ghayri washithah (tanpa media pelantara). Ia bersimpuh, menengadah ke langit, menghadap ke arah kiblat, dan berkata,

“Kitab al-Futuhat al-Makiyyah menjelaskan ilmu ketuhanan dengan metode dan model bernalar orisinil versi saya sendiri—sebelumnya belum ada yang menulisnya. Demi Allah, saya tidak menulis satu huruf pun kecuali huruf-huruf itu mengalir dan muncul dengan sendirinya dari jari-jariku hasil diktean dari Yang Maha Kuasa, Tuhan. Ilmu yang aku tulis ini adalah ilmu yang langsung diturunkan dari Tuhan, atau ilmu itu muncul dari pancaran ruhaniyyah-ku yang memancar bening di dalam lubuk hati nuraniku. Aku sadar, bahwa aku bukan rasul, utusan Allah, yang mendapatkan mandat wahyu syariat dan bukan pula nabi-nabi.[…] Tapi turunnya ilmu dan petunjuk Allah tak pernah berakhir, tak pernah berhenti, bahkan akan terus turun selamanya baik di dunia atau di akhirat.”

Ungkapan di atas meyakinkan bahwa pengetahuan sufistik Ibn Arabi semakin kentara. Sebagaimana ia katakan juga “Meski kenabian dan kerasulan sudah berakhir, ilmu Allah akan terus (di)turun(kan) kepada hambaNya yang salih”. Menurutnya, wahyu bersifat spesifik dan terbatas, sedangkan ilmu bersifat unlimitad (nir-batas). Dalam keyakinan Ibn Arabi, ilmu Allah telah ditorehkan ke dalam kitab Futuhat al-Makkiyah.

Kitab Futuhat al-Makkiyyah ini mengetengahkan madzhab tasawuf falsafi yang utuh dan independen. Dalam kitab ini, Ibn Arabi mengkolaborasikan antara tasawuf dan fikih, intuisi dan filsafat, atau antara pemikiran dan potensi ekstasi, dimana semuanya bersumber dari pengalaman visioner spiritual pribadinya. Di samping itu, Ibnu ‘Arabi juga berupaya mensistematisasikan pemikiran yang berbaur dengan pengalaman sufistiknya yang sangat kompleks ke dalam suatu konsepsi pemikiran kokoh, utuh, dan legitimate. Semuanya ini dilakukan dengan tanpa mengesampingkan makna teks normatif Islam, Al-Quran dan hadits.

Pengalaman-pengalaman sufistik Ibn `Arabi yang diikutsertakan dalam kerja-kerja penafsiran dan mereproduksi makna (yang sering disebut dengan metode takwil) atas teks-teks al-Quran dan hadits dijadikan sebagai landasan normatif Islam. demikian pula digunakan dalam proses kualifikasi terhadap sejumlah status hadis untuk menjustifikasi konsepsi ide sufistiknya. Dalam menyoal hal ini, Ibn ‘Arabi menyatakan,

“Banyak hadis yang sahih berdasarkan pada riwayat para perawi yang amanah tidak bisa saya anggap sebagai hadis yang betul-betul sahih, sehingga saya harus menjustifikasinya sebagai hadis yang berfungsi secara tidak meyakinkan melainkan hanya secara dzanny (perkiraan). Penyimpulan status hadis sedemikian rupa sehingga hadits yang sahih diklaim sebagai tidak sahih didasarkan pada pengalaman visional spiritual (bashîrah). Dan sebaliknya, status hadis yang lemah dari segi periwayatan (dla’if), karena adanya perawi yang tidak amanah dan tidak orisinil, pada hakekatnya, bagi saya, adalah hadis sahih berdasar pada pengalaman visional spiritual itu.”

Secara metodologis, Ibnu ‘Arabî melakukan sistem kualifikasi bukan berdasar pada standar ilmu hadits dan al-jarhu wa al-ta’dil (koreksi, kritik, dan pertimbangan terhadap para perawi hadits) yang telah dirumuskan dan dibakukan para ahli hadis, melainkan berdasar pada kualifikasi yang dilakukan oleh pengalaman visional spiritual pribadi. Epistemologi tasawuf Ibn `Arabî menjadi berdasar lantaran landasan yang digunakan bukan merupakan pengalaman historis yang murni, pengalaman spiritual pribadi yang jernih, akan tetapi pengalamannya itu telah diinspirasikan oleh sumber-sumber normatif Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Untuk memperkuat basis metodologisnya, pendapat Ibn `Arabî berlandaskan, pada sejumlah ayat al-Qur’an, di antaranya ayat 108, surat Yûsuf.

Sebagai seorang sufi, Ibnu ‘Arabî sangat “setia” terhadap teks normatif Islam, Al-Quran dan hadits. Di samping itu, Ibnu Arabi mengkonsepsikan relasi ideal antara fikih dan tasawuf. Menurutnya, fikih laksana fisik, sedangkan tasawuf adalah ruhnya. Keduanya saling erat-berkelindan. Meski, sebagai ruh, tasawuf lebih menentukan fisik fikih agar bermakna. Dari posisi strategis inilah, ruh jauh lebih penting dan lebih menentukan daripada fisik.

Dengan mengutip pendapat Mahmud Mahmud al-Ghurab, salah seorang pakar Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa dalam aspek fikih, Ibnu ‘Arabî memproduksi berbagai hukum syariat Islam yang relatif berbeda dan tidak dihasilkan dari proses taklid pada para mujtahid sebelumnya. Meski ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa Ibnu ‘Arabî adalah pengikut madzhab Dzahiriyah, yang dikembangkan oleh Ibnu Hazm di Andalusia, akan tetapi jika dibandingkan keduanya, Ibnu Arabi dan Ibnu Hazm, cukup berbeda. Bahkan landasan metodologi keduanya memiliki kesan kuat akan kontradiksinya. Ibnu Hazm tidak mempercayai adanya makna esoterisme teks (bathin), dan yang ada hanya makna eksoterisme teks (dzahir), sedangkan Ibnu ‘Arabî meyakini adanya ambiguitas makna teks, terdapat dua lapisan lahir-bathin di dalam teks. Tak heran, jika Ibnu ‘Arabî lebih dikenal sebagai seorang mujtahid mustaqil, independen dan tidak bertaklid.

Dari uraian konsepsional di atas, penulis berkepentingan untuk mengetengahkan berbagai produk pemikiran fikih Ibnu ‘Arabî, sebagai bentuk implementasi pemikiran filosofisnya. Salah satu studi kasus yang cukup mendapat perhatian dalam al-Futûhât al-Makkiyyah adalah mengenai posisi laki-laki dan perempuan dalam konteks kepemimpinan religius ataupun publik. Ibnu ‘Arabî berpendapat bahwa tidak ada satu teks pun dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadits yang melarang perempuan menjadi pemimpin, baik pemimpin spiritual, shalat, maupun pemimpin publik. Perempuan memiliki hak yang sama dan setara dengan laki-laki dan sama-sama memiliki kesempatan menduduki posisi kepemimpinan. Perempuan menurutnya dinyatakan absah menjadi imam dalam shalat berjamaah, meski makmumnya adalah golongan laki-laki.

Bahkan dalam aspek spiritual, perempuan mendapatkan porsi dan peluang yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Hal ini karena berdasarkan intuisi, rasa, dan hati perempuan yang seringkali diasah-diasuh serta dilatih dalam ritual yang bersifat spiritual, perempuan jauh lebih tajam dan lebih runcing daripada hati laki-laki. Konon, karena laki-laki lebih didominasi oleh akalnya, akalnya seringkali menghalang-halangi ketajaman hati, intuisi, dan rasa. Sedangkan perempuan yang lebih didominasi perasaan dan intuisinya cenderung mendukung atas tumbuh-subur dan berkembangnya pohon-pohon spiritual dan cinta Tuhan nan semerbak di taman hati. Meski masih banyak contoh studi kasus lainnya, dalam menyoal relasi dalam laki-laki dan perempuan, pandangan fikih Ibnu ‘Arabî memiliki kecenderungan pandangan yang inklusif.

Selain soal-soal fikih yang mendapat porsi pembahasan dalam al-Futûhât al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabî juga banyak menjelaskan pandangan sufistiknya di dalam maha karyanya itu. Untuk keperluan tulisan ini, penulis menghadirkan tiga konsepsi besar mengenai teologi, yaitu (1) relasi Tuhan dan makhluk-Nya serta konsep penciptaan; (2) wujud; dan (3) wihdat al-adyan.

Dalam berbagai literatur, relasi Tuhan dan makhluk-Nya, serta konsep penciptaan, mayoritas para teolog (mutakallimin) berpendapat bahwa penciptaan adalah creation ex nihilo (wujud dari ketiadaan menjadi diadakan). Hal berbeda diungkapkan Ibnu ‘Arabî, dengan mengatakan bahwa penciptaan tidak lain sebagai proses emanasi dan manifestasi. Asal-muasal segala wujud alam semesta menurutnya berawal dari derita Tuhan yang sendirian dalam hasrat untuk berelasi atau berhubungan (baca, dengan mahluk). Konsepsi sufistik Ibnu ‘Arabî ini berlindung di balik hadis Qudsî yang mengatakan “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi yang tidak dikenali. Aku ingin dikenali maka Kuciptakan para makhluk. Aku berkenalan dengan mereka sehingga mereka mengenali-Ku”.

Konsepsi mengenai Tuhan dari sudut pandang sufistik Ibnu ‘Arabî inilah, kemutlakan Tuhan yang absolut dan terkesan di menara gading—seperti dalam asumsi teologi—telah mengalami pergeseran paradigma menuju keadaan Tuhan yang terikat dengan hasrat berelasi bersama makhluk-makhlukNya. Pandangan tersebut menegaskan asumsi bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia menjadi tidak sepihak, sebuah relasi simbiosis-mutualistik. Hal ini karena pengasumsian sebuah wujud yang harus diselaraskan pada kesadaran sufistik pada hakekatnya mengandaikan sebuah hubungan timbal-balik yang saling membutuhkan antara Tuhan dan makhluk; Tuhan membutuhkan makhluk dalam aspek penampakan diri-Nya, sementara makhluk adalah manifestasi-manifestasi diri-Nya. Tanpa adanya makhluk maka Diri Tuhan tidak dapat termanifestasikan; sedangkan makhluk membutuhkan Tuhan dalam aspek penghambaan.

Tekstualiatas hadis Qudsi di atas menunjukkan bagaimana wujud Tuhan diketahui melalui bentuk pengenalan. Teks yang mengatakan, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi,” merupakan suatu ungkapan yang bermakna bahwa Tuhan pada mulanya adalah mandiri, tanpa relasi. Namun demikian, dengan menyimak pernyataan-Nya bahwa “Aku ingin diketahui”, memiliki makna yang terkesan mendorong untuk mengusir kesepian dan kesendirian-Nya dengan mewujudkan makhluk. Dengan memiliki relasi atau hubungan bersama makhluk ini bisa bermakna adanya hasrat ingin dikenal dapat tercapai. Wujud selain Tuhan itu menurut Ibnu ‘Arabî terangkum dalam keinginan Tuhan yang terpersonifikasikan oleh nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.

Sementara itu, konsepsi mengenai entitas manusia sendiri menurut Ibnu ‘Arabî mulai muncul sebagai penjelas atas hubungan-hubungan entitas Tuhan yang direpresentasikan dalam bentuk sifat-sifat-Nya. Tidak heran, jika pandangan teologis ini mengasumsikan sebuah bentuk kemitraan yang saling bergantung —meski dalam tahapan-tahapan tertentu. Kemitraan Tuhan dan alam semesta menurut Ibnu ‘Arabî semakin maksimal setelah Tuhan menciptakan manusia di alam semesta.

Untuk memperkuat basis pengetahuannya, Ibnu ‘Arabî mengajukan konsepsi mengenai sejarah manusia pertama dalam bentuk kejatuhan Adam as. di alam semesta. Ibnu Arabi memandang bahwa peristiwa kejatuhan manusia yang diawali dengan kejatuhan Adam as. bukan merupakan kutukan atau akibat dosa kutukan, melainkan sebuah proses yang niscaya untuk mencapai tahapan kesadaran maksimal dan dalam bentuk riil demi tercapainya aktualisasi diri Tuhan yang termanifestasikan. Sebab, alam semesta dengan tanpa manusia bagaikan badan tak bernyawa. Manusia adalah nyawa bagi alam semesta. Atau alam semesta bagaikan cermin yang bening, dan eksistensi manusialah yang memberikan warna.

Gagasan besar dan poros pemikiran Ibnu Arabi yang kedua adalah mengenai konsep wujud. Konsepsi ini dapat dipahami bahwa hakikat wujud, pada tataran substansinya, adalah satu. Sedangkan pluralitas atau kemajemukan makhluk di alam semesta merupakan manifestasi sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Pada hakikatnya tidak ada kemajemukan kecuali hanya pada tataran ungkapan, retorika, istilah-istilah, penisbatan dan tendensi. Wujud hakiki adalah qadim, abadi, kekal dan tidak berubah-ubah, meski citra wujud yang mewadahi penampakan wujud sejati bisa berubah-ubah.

Menurut Ibnu ‘Arabî, wujud hakiki bak lautan wujud yang meluap yang tidak ada ujung dan tak bertepi. Maujud yang dapat diketahui panca indra hanya sekedar riak-riak buih gelombang lautan yang tampak mengapung di atas permukaan laut. Sebagaimana ketika memandang sebuah wujud dari sudut substansi, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah al-Haq. Dan jika dipandang dari aspek sifat-sifat dan nama-nama-Nya, maka dapat dikatakan ia adalah makhluk, atau alam semesta. Wujud adalah al-Haq sekaligus makhluk, The One sekaligus majemuk, qadim sekaligus anyar, awal serta akhir, lahir dan bathin. Hakikat wujud dari sudut substansi adalah qadim, kekal, suci, dan eterniti. Tetapi jika ditinjau dari sudut penampakan dan manifestasi dalam kontestasi wujud eksternal, dapat dikatakan pula ia adalah majemuk, haditsah zamaniyyah (anyar), menerima persamaan dan dapat ditangkap panca indera.
Dalam menyoal tentang wujud, Ibnu ‘Arabî memiliki klaim sendiri, yaitu dengan lugas menyatakan “Maha suci Dzat yang menampakkan segala sesuatu, dan Dia (Dzat tersebut) hakikatnya adalah segala sesuatu itu sendiri”. Sebagaimana diungkapkan pula dalam bentuk dendangan syair:

“Aku melihat diriku, tapi yang kulihat adalah Diri-Nya
Telingaku tidak mendengarkan selain sabda-sabda-Nya
Wujud hakiki adalah wujud al-Haq
Tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana keterangan dalam hadits
Di satu sisi, al-Haq adalah makhluk, ucapkanlah
Di sisi lain, ungkapkanlah bahwa al-Haq bukanlah makhluk
Himpunlah dan pisalah, hakikat sesuatu adalah satu
Ia yang majemuk tidak kekal
Tak ada wujud kecuali Allah, tak ada sesuatu selain Diri-Nya
Tak ada apa-apa, tak ada, karena hakikat wujud adalah Esa.”

Bagi manusia, wajar jika pengenalan terhadap Tuhannya melalui nama-nama dan sifat-sifat yang termanifestasikan di alam semesta. Adapun dualisme atribut al-Haq dan makhluk dalam hal ini merupakan pertimbangan akal, penalaran, dan penglihatan pancaindera, bukan menurut pertimbangan intuisi dan penyingkapan (al-kasyf). Hal ini dikarenakan bahwa akal tidak kuat untuk mengetahui satu entitas secara komprehensif. Menurut Ibnu ‘Arabî, dualisme wujud tersebut dalam pertimbangan intuisi dan penyingkapan adalah illusi. Wujud hakiki adalah hanya Allah semata. Wujud makhluk jika ditendensikan kepada Allah, maka bagaikan wujud bayangan dan Tuhan adalah subyek yang memiliki bayangan, citra atau bentuk yang ada di cermin dan subyek yang memiliki citra itu. Makhluk adalah penampakan dan bayangan bagi wujud hakiki.

Apa yang oleh kalangan pemikir teologi disebut sebagai wihdat al-wujud pada hakekatnya memiliki dampak epistemologis yang cukup luas. Bahkan, berbagai pernak-pernik pemikiran Ibnu Arabi yang begitu kaya raya akan berlabuh pada wihdat al-wujud itu. Hal ini sebagaimana dikonsepsikan pula oleh Ibnu ‘Arabî wihdat al-adyan (the unity of religiouns). Konsep ini menurutnya sebagai bentuk konsekuensi logis atau bisa dikatakan “anak turunan” dari epistemologi wihdat al-wujud. Dalam konsep wihdat al-wujud ditegaskan bahwa wujud hakiki adalah satu, sedangkan wujud-wujud lain adalah manifestasi. Demikian juga dalam konsep wihdat al-adyan yang menegaskan bahwa perbedaan hanya berada pada tataran nama-nama, simbol-simbol, dan ritual ibadah sebagai manifestasi, dan hakikat terdalamnya adalah sama dan satu, yaitu menyembah atau menghamba kepada Tuhan. Manifestasi akan selalu majemuk, dan hakikat sejati yang dimanifestasikan adalah The One. Agama dalam aspek eksoterisme yang termanifestasikan di kulit luar berbeda-beda dan plural, sedangkan dalam aspek esoterismenya adalah sama dan satu, lantaran eksoterisme adalah manifestasi esoterisme.

Demikianlah penggalan konsepsi filosofis Ibnu ‘Arabî ini diketengahkan terkait dengan berbagai pandangan teologi dan relasi Tuhan, manusia, dan alam. Apa yang ditawarkan Ibnu ‘Arabî dalam menyoal tentang relasi laki-laki dan perempuan tidak lain sebagai manifestasi dari pandangan tasawuf falsafi yang terkandung dalam Futuhat al-Makkiyah. Sebagai karya masterpiece-nya, Ibnu ‘Arabî dianggap berhasil membuka ruang diskursus tentang ketuhanan, –yang selama sejarah pengetahuan manusia—masih berada pada wilayah eskatologis. Bagi Ibnu ‘Arabî, diskursus mengenai hal tersebut tampaknya memberikan kontribusi bagi sikap dan pandangan manusia yang positif terhadap Tuhan. Demikian halnya, manusia sebagai makhluk Tuhan yang sangat membutuhkan relasi yang simbiosis-mutualistik dalam kenyataan kehidupan sosial dan budaya, dituntut untuk bersikap inklusif dan toleran. Dengan dua sikap inilah, manusia tidak saja tengah merefleksikan sifat-sifat ketuhanan yang Maha Pengasih dan Penyayang, tetapi juga tengah menginternalisasikan nilai-nilai kedirian manusia seutuhnya yang membutuhkan relasi antar sesama dalam kondisi harmonis. (Selanjutnya - Intisari Kandungan Kitab al-Futuhat al-Makkiyah)

KOMENTAR